Dalam sambutannya pada rakor PIP tahap kedua, Plt. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Totok Suprayitno mensosialisasikan “surat terbuka untuk para guruâ€. Surat terbuka ini adalah pidato resmi pertama Mendikbud, Nadiem Anwar Makarim yang disampaikan secara luas dan terbuka dalam rangka Hari Guru Nasional tahun 2019.
Kepada para peserta rakor, Totok menekankan bahwa inti dari pidato tersebut adalah pentingnya kesadaran bagi seluruh lini yang terlibat dalam dunia pendidikan untuk membangun suasana belajar dan mengajar yang merdeka.
“Kita tahu dan merasakan, selama ini praktek pendidikan kita seringkali menjadi semacam belenggu yang tidak membebaskan. Proses belajar yang dijalani guru hanya sekadar menjalani petunjuk dari; Kemdikbud, dinas provinsi, pengawas, dan kepala sekolah,†kata Totok.
Lanjutnya,“Belenggu dan paradigma seperti itulah yang harus dirubah. Merdeka belajar yang dimaksud adalah, sudah semestinya para guru yang menjalankan tugasnya mencerdaskan anak bangsa diberi keleluasaan untuk berkreasi dan berinovasi. Perlu ide-ide baru dan segar yang out of the box.â€
Munculnya tagline #merdekabelajar ini didasari oleh kekhawatiran adanya belenggu, pengukungan, serta aturan-aturan yang menghalangi mengalirnya ide-ide dan kreativitas yang diharapkan. Padahal, UUD menegaskan bahwa tujuan dari pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Misi pendidikan lebih lanjut juga diuraikan dalam UU Sisdiknas Pasal 2, tentang mandat yang harus diemban dalam menyelenggarakan misi pendidikan, mulai dari kementerian, dinas, sekolah, pengawas, dan guru. Maksud dari pendidikan bangsa yang cerdas diuraikan lebih lanjut didalam Pasal 3 UU Sisdiknas dan aturan-aturan yang mengikutinya.
“Selama ini birokrat bekerja keras mulai dari pusat, provinsi, kabupaten, sekolah, menjalankan pekerjaan masing-masing. Pertanyaannya, apakah kerja keras kita sudah sesuai dengan mandat yang harus diemban, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Membuat anak-anak cerdas, kompetitif, jujur, sopan, berbudi luhur dan seterusnya? Yang kita lihat, hasil belajar dalam UN, sejak tahun 2000, bahkan sampai sekarang, flat, hampir tak ada perubahan. Bukti-bukti dari hasil belajar menunjukkan kekhawatiran ini. Kita mungkin memang sudah kerja keras dan cukup produktif, tapi jangan-jangan kerja keras kita ke arah yang salah,†ujar Totok.
Totok juga menegaskan, istilah 4C ; Creativity, Critical Thingking, Colaboration, dan Communication adalah learning skill, kemampuan berinovasi yang hanya bisa diperoleh jika kita dalam suasana kreatif.
“Untuk membuat anak-anak kreatif kita harus dalam suasana kreatif. Apakah bisa suasana kreatif dan mendorog inovasi jika suasananya tidak merdeka? Kalau kita lihat proses, selama ini hanya berdasarkan petunjuk-petunjuk aturan yang ada. Sehingga kita bayangkan, kalau petunjuknya seragam, dari Sabang sampai Merauke maka cara belajarnya pasti sama. Padahal, untuk belajar kreatif tidak harus kotak, bisa bulat dan lainnya. “ Ujarnya.
Poses belajar yang tidak merdeka, lanjut Totok, tanpa disadari membuat jalannya pendidikan seperti belenggu. Jawaban harus sama, tidak boleh berbeda, gagasan juga tidak boleh berbeda, dimana hal ini sudah terlatih sejak awal, sejak SD, SMP, dan SMA. Namun, setelah dewasa, anak-anak ini kemudian justru dituntut untuk menghargai orang lain, toleran terhadap perbedaan. Padahal, sejak kecil mereka tidak terbiasa atau dibiasakan untuk menghargai dan menghormati perbedaan.
Kalau kita sadari demikian, lalu kesibukan kita, bapak-ibu guru selama ini mengarah kemana? Jangan-jangan sekadar memenuhi apa yang disuruh, dan lupa dengan mandat utamanya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa tadi.
“Itulah sebabnya pidato Mendikbud di Hari Guru menjadi dasar salah satu perubahan mendasar yang harus kita lakukan. Bapak dan Ibu yang menjadi leader di sekolah masing-masing harus memastikan bahwa proses pembelajaran di setiap kelas penuh dengan kreativitas, penuh dengan inovasi yang bisa dijalani jika para guru memiliki kemerdekaan di dalam prosesnya.â€
Seperti nasihat Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan adalah untuk memerdekan lahiriah dan batiniah, ini kata kuncinya. Termasuk memerdekakan pola berfikir. Einstein juga mengatakan bahwa pendidikan itu merupakan bagaimana melatih anak-anak kita untuk berfikir, bukan sekadar memberikan pengetahuan atau informasi.
“Maka, untuk merevitalisasi proses pendidikan, pertama adalah melalui proses memerdekakan pikiran dan tanpa ongkos. Mulai besok pagi ajak anak-anak keluar untuk belajar, mulai melakukan hal kecil-kecil untuk memberikan kemerdekaan berfikir, ajak anak-anak untuk diskusi. Ajak untuk melihat fenomena, untuk mengamati, lalu mendiskusikan. Banyak reformasi yang kita bisa lakukan tanpa ongkos. Tidak ada yang melarang, belajar bisa di luar kelas, groupis, dan melantai.â€
Totok menjabarkan, gerakan ini harus dimulai dari bawah, bukan dari kementerian. Kementerian hanya memberi support, dorongan, yang difasiilitasi kawan-kawan dinas setempat agar guru memiliki keberanian dan percaya diri untuk merdeka.
Totok memberi jabaran,â€Sekolah yang sering “melanggar†biasanya lebih maju, biasanya sekolah swasta, yang relatif elit. Kalo gitu kuncinya gampang, langgar saja aturannya. Tapi, kata kunci bukan pada kata “melanggarâ€. Melanggar yang dimaksud adalah kata kunci dari kreatif, inovatif dan membangun diri sendiri. Paham dengan kreativitas dan kemerdekaan berpikir. Karena itu, aturan bisa didaur ulang menjadi sesuatu yang bukan menjadi beban, tapi melanggarnya untuk lebih inovatif, itulah ciri kemerdekaan belajar.â€
Teks : Iman
Foto : Panji
Penulis |  :  | |
Editor |  :  | l0wtun3 |
Dilihat |  :  | 534 kali |
Materi pemahaman akan semangat kebhinekaan perdamaian dan non diskriminasi dalam Pembinaan Kerohanian tingkat SMA 2019