Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI) tahun ini mengangkat tema â€Meneliti Itu Seru†dan dan berlangsung tanggal 15-20 Oktober 2018 di kota Semarang, Jawa Tengah. OPSI 2018 diikuti 275 SMA dan 55 Madrasah Aliyah dari 30 provinsi. Dari 1.593 proposal penelitian tersaring sebanyak 900 naskah laporan penelitian di tahap penilaian naskah dan kemudian menjadi 105 naskah terbaik dari 199 siswa di babak final. Dihubungi oleh Kompas.com, Asep Sukmayadi, Kepala Seksi Bakat dan Prestasi Peserta Didik SMA Kemendikbud menjelaskan tentang tantangan dan potensi budaya penelitian di kalangan generasi milenial saat ini. Tantangan menuju Indonesia 4.0 "Indonesia 4.0 adalah kesempatan sekaligus tantangan bagi generasi post milenial usia SMA Indonesia yang kini berjumlah sekitar 4.7 juta. Mereka akan manapaki puncak-puncak generasi bonus produktif di masa 2035-2045," ungkap Asep.
Ia menambahkan, para siswa harus dipersiapkan memiliki kemampuan dasar computational thinking, nalar yang kuat, kreatif, kritis, dan inovatif. "Anak-anak Indonesia harus dibiasakan tidak berpikir kecil dan instan, tetapi senang berlatih berpikir out of the box, bahkan berpikir out of the mainstream logic. Jawaban-jawaban ilmiah atas segala keingintahuan harus dibiasakan sejak dini karena generasi masa depan Indonesia harus menjadi inventors dan industry disrupters," tegasnya.
Generasi ini diharapkan ikut menata ulang kehidupan dengan lebih baik melalui kemampuan dalam hal kecerdasan buatan (AI), bioscience, dan rekayasa energi. "Mereka harus diberikan kesempatan berlatih untuk menemukenali bakat dan potensinya dalam penguasaan basic knowledge of the sciences, math skills, engineering, ekonomi, dan seni," tambahnya. Hal itu sangatlah penting karena Indonesia 4.0 tidak mungkin dicapai tanpa didukung kreatifitas manufaktur dan industri kreatif. Membangun kultur riset generasi milenial
Kepala Seksi Bakat dan Prestasi Peserta Didik SMA ini menyampaikan, budaya penelitian di kalangan siswa terlihat belum merata seluruh tanah air. Dilihat dari data kepersertaan dalam ajang Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI) misalnya, terlihat baru sebagian daerah saja yang memiliki perhatian sungguh-sungguh terhadap penelitian. "Di Jogjakarta, misalnya, melakukan penelitian itu sudah merupakan tugas sehari-hari di sekolah Project-based learning ditanamkan di dalam proses pembelajaran di sekolah sehingga anak-anak belajar untuk terbiasa meneliti dan menulis, mencoba menerapkan kaidah-kaidah ilmiah dalam memenuhi tugas yang diberikan oleh guru-gurunya," cerita Asep. Pemerintah DIY melakukan intervensi dengan mengalokasikan anggaran memadai untuk kegiatan pembinaan ekstrakurikuler dan bakat serta prestasi peserta didik, yang secara otomatis mendorong mutu pembelajaran itu sendiri. Selain karena perhatian pemerintah daerah yang belum optimal, tantangan itu juga datang dari dampak negatif maraknya penggunaan gadget atau media sosial yang banyak dinilai cenderung membawa generasi muda untuk berbudaya pikir pendek dan usaha instan.
Kaidah ilmiah yang menghendaki upaya melalui tahapan yang runut dan terstruktur cenderung tidak disukai oleh generasi milenial. Meneliti itu cenderung dianggap kaku, rumit, dan menjemukkan. Padalah meniliti itu juga seru dan keren. Potensi dan prestasi peneliti remaja kita
Padahal, bakat dan prestasi siswa Indonesia di bidang penelitian sangatlah hebat, membanggakan dan penuh dengan harapan. "Pada beberapa tahun terakhir ini juga, kita telah membuktikan karya-karya terbaik anak-anak Indonesia mampu berbicara di ajang sekelas INTEL-ISEF di Amerika. Sebuah perhelatan pameran dan lomba peneliltian terbesar di dunia diikuti oleh lebih dari 1500 karya ilmiah remaja yang datang dari lebih 100 negara," katanya lebih lanjut. Beberapa diantaranya ada yang pernah menyabet juara dan special award lembaga keilmuwan dan korporasi terkemuka di Amerika dan di dunia. Anak-anak Indonesia juga sangat bangga bisa berinteraksi bahkan dengan para nobelis terkemuka dunia dan memperoleh kesempatan karyanya untuk dinilai oleh para nobelis itu, jelas Asep. Karya-karya invensi anak-anak Indonesia juga sangat futuristik, selain memiliki nilai-nilai kepedulian terhadap solusi atas persoalan-persoalan yang ada di lingkungannya. Karya mereka juga memiliki potensi besar menjadi bagian dari penata ulang masa depan kehidupan manusia yang lebih baik.
"Seperti yang dilansir Bill Gates bahwa ada 3 bidang iptek yang akan mempengaruhi masa depan manusia, yaitu kecerdasan buatan, bioscience, dan energi. Nah, karya-karya anak-anak Indonesia memiliki harapan itu," ujarnya. Ia berharap OPSI terus dikembangkan untuk menjadi wahana efektif dalam ikut meningkatkan mutu pembelajaran sehari-hari di sekolah sekaligus sebagai wahana penguatan pendidikan karekter siswa melalui penanaman nilai-nilai sejati keilmuwan yang peduli dan empati. "Dan yang penting juga adalah, OPSI sebagai peristiwa berjumpa anak-anak Indonesia untuk menyemai dan menumbuhkan persatuan dan persahabatan sebagai generasi yang akan menopang masa depan bangsa yang gemilang," kata Kepala Seksi Bakat dan Prestasi Peserta Didik SMA menutup penjelasannya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Menuju Indonesia 4.0 dan Membangun Budaya Penelitian Generasi Milenial", https://edukasi.kompas.com/read/2018/10/19/13422911/menuju-indonesia-40-dan-membangun-budaya-penelitian-generasi-milenial.
Penulis : Yohanes Enggar Harususilo
Editor : Yohanes Enggar Harususilo
Penulis |  :  | |
Editor |  :  | whika |
Dilihat |  :  | 365 kali |
Materi pemahaman akan semangat kebhinekaan perdamaian dan non diskriminasi dalam Pembinaan Kerohanian tingkat SMA 2019