Memasuki tahun ajaran baru, banyak sekolah mengadakan kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS). Sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidkan dan Kebudayaan (Permendikbud), masa orientasi peserta didik bertujuan untuk mengenalkan program sekolah, lingkungan sekolah, cara belajar, penanaman konsep pengenalan diri peserta didik, dan kepramukaan sebagai pembinaan awal ke arah terbentuknya kultur sekolah yang kondusif bagi proses pembelajaran lebih lanjut sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Meskipun masing-masing sekolah mempunyai program yang berbeda, pada umumnya alasan diadakannya MOS adalah sebagai pengenalan siswa baru terhadap lingkungan sekolahnya yang baru. Sayangnya, tidak selalu kegiatan MOS dilaksanakan sesuai tujuan awal tersebut dan lebih cenderung menjadi ajang pembalasan dari kakak kelas, yang dulu menjadi korban perpeloncoan oleh seniornya, terhadap adik kelas yang baru.
MOS, yang sesuai namanya seharusnya bertujuan sebagai kegiatan untuk memberikan orientasi atau pengarahan kepada siswa baru, beberapa kali sempat menelan korban. Sering kegiatan perploncoan ini juga diisi dengan kegiatan-kegiatan pelecehan dan tidak mendidik. Untuk menghentikan kegiatan perploncoan semacam itu, telah dikeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 55 tahun 2014.
Lalu, bagaimana sudut pandang siswa sendiri terhadap diadakannya MOS ini? Untuk mengetahui pendapat siswa mengenai MOS, kami telah melakukan jajak pendapat terhadap para siswa di beberapa SMA. Jajak pendapat ini bertujuan untuk melihat apakah siswa setuju atau tidak setuju dengan kegiatan MOS serta apa alasan mereka setuju atau tidak setuju dengan hal tersebut. Dari hasil jajak pendapat ini dapat dilihat bahwa siswa umumnya setuju dengan diadakannya kegiatan MOS yang positif. Seperti diungkapkan oleh Dewi Kusuma Ningrum, siswi kelas X SMAN 1 Tanjung Pandan, Belitung, ia menyatakan setuju dengan diadakannya MOS asalkan kegiatan tersebut tidak bersifat mengintimidasi. Menurutnya, MOS membantu siswa baru mengenal lingkungan sekolah dan melatih kedisiplinan. Senada dengan pendapat tersebut, Anak Agung Gede Basawantara yang duduk di kelas XII SMA Avicena, Depok, menyatakan setuju dengan penyelenggaraan MOS asalkan tidak ada unsur negatif serta dapat membuat siswa baru merasa nyaman dan mendapat ilmu baru dari kegiatan tersebut. Fridson Lenama, siswa kelas XI SMAN Banat, NTT, mendukung kegiatan MOS karena kegiatan tersebut mengajarkan untuk menghargai ilmu, menjaga sekolah, kebersihan, ketertiban dan keamanan, serta menghargai pendapat orang lain tanpa membedakan suku, agama dan ras, juga menghindari perbuatan yang tidak bermanfaat atau bertentangan dengan norma hukum.
Pada dasarnya lebih banyak sekolah yang menyelenggarakan kegiatan positif di awal tahun ajaran sebagai masa orientasi bagi siswa baru. SMAN 1 Tanjung Pandan, Belitung, misalnya, mengadakan serangkaian kegiatan yang bermanfaat bagi siswa-siswi baru. Haryanto, kepala sekolah SMAN 1 Tanjung Pandan, menjelaskan bahwa sekolah beliau telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan Permendikbud tahun 2014 tentang MOS. Kegiatan yang diselenggarakan selama empat hari tersebut diisi dengan pengarahan dari BNK dan Satlantas, selanjutnya hari kedua dilaksanakan kegiatan pengenalan lingkungan sekolah beserta tata tertib yang berlaku. Selanjutnya, hari ketiga diisi dengan pengenalan tentang program sekolah, kegiatan OSIS, dan ekskul. Kegiatan ditutup di hari keempat dengan mengundang Depag untuk materi keagamaan dan bimbingan mental.
Lain lagi kegiatan orientasi yang diadakan oleh SMAN 1 Sindang Indramayu. Sesuai peraturan Gubernur Jawa Barat No. 50 tahun 2015 tentang penerimaan peserta didik baru, sekolah mengadakan MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah), yang sebelumnya disebut MOS selama 3 hari di awal masuk sekolah,jelas Yati Mulyati, guru fisika dan pembina OSIS di sekolah tersebut. Kegiatan berupa sosialisasi visi misi sekolah, kurikulum SMA, nasionalisme, budi pekerti, pendidikan karakter, Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, kepemimpinan dan tracfiking, kerja kelompok, kesenian, kreativitas dan cinta lingkungan.
Sementara itu, Benediktus O. Kase, kepala sekolah SMAN Banat, NTT, menjelaskan, Materi kegiatan MOS di sekolah diisi dengan widyamandala, kepemimpinan, pengenalan kurikulum dan materi lain yang relevan, ditambah dengan kegiatan di luar kelas berupa kepramukaan. Beliau juga mengarahkan OSIS dan para guru sehingga tidak ada unsur perploncoan dalam pelaksanaan kegiatan.
Masa orientasi siswa yang tidak mendidik dan cenderung mengarah pada kekerasan dan pelecehan memang tidak sepatutnya dibiarkan begitu saja. Kegiatan seperti itu tentu bisa berdampak buruk terhadap kondisi psikologis siswa. Perpeloncoan yang buruk dapat menimbulkan trauma kejiwaan, seperti kecemasan, ketakutan, rasa tidak percaya diri, hingga depresi. Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat yang mendidik dan mendorong perkembangan siswa justru bisa mengakibatkan terganggunya perkembangan jiwa siswa. Sebaliknya, kegiatan yang bersifat positif dapat menumbuhkan rasa percaya diri siswa dan keakraban dengan kakak kelas dan para guru di lingkungan sekolah yang baru. Perlu ditegaskan kepada para senior bahwa MOS bukan ajang balas dendam yang dilampiaskan kepada adik kelas.
Semoga di tahun-tahun mendatang masa orientasi siswa dapat terus berjalan tertib dan mendidik sehingga tidak ada lagi korban perpeloncoan.
sumber : LJ
Penulis |  :  | |
Editor |  :  | |
Dilihat |  :  | 7498 kali |