Penggunaan media digital untuk mengekspresikan karya komik menjadi terobosan di Festival Literasi Sekolah (FLS) 2019 tingkat SMA. Jika di tahun-tahun sebelumnya peserta menggoreskan cerita visual secara konvensional, tahun ini, mereka wajib menggunakan gawai, baik itu telepon selular, komputer jinjing atau laptop, maupun tablet.
Menurut juri komik Iman Sudjudi, perubahan pembuatan karya dari konvensional ke digital adalah perubahan yang tidak bisa dihindari. Sebab, kata Iman, saat ini, generasi milenial sudah melek teknologi informasi dan panitia tidak bisa membatasi penerimaan karya yang dikirim peserta dalam bentuk digital.
Tahun ini, kata Iman, pihaknya menerima sekitar 200 karya komik yang semuanya sudah dalam bentuk digital.
“Karya yang kami terima di tahun lalu itu ada 600, tapi yang memenuhi syarat hanya 30. Sekarang, kami menerima 300 kurang sedikit, tapi 70 persen kualitasnya bagus dari segi teknisnya,†ujar Iman di sela kegiatan FLS 2019 di Padjajaran Suites and Convention, Bogor, Jawa Barat, Minggu, 28 Juli 2019.
Dengan membuka peluang hadirnya komik digital, Iman menjelaskan, pihaknya memberikan tantangan kepada peserta dalam berkarya dan juga memperluas publikasi karya mereka ke masyarakat luas.
“Mereka nantinya juga bisa mempublikasikan karyanya ke digital publishing atau untuk diri sendiri melalui media sosial masing-masing, bisa lewat Instagram, Facebook dan lainnya, dan mereka bisa menyebarkan komiknya,†kata Iman.
Ia juga mengatakan, ada peluang yang terbuka dari penerbit untuk melirik karya mereka dan mengapresiasinya.
Kekuatan komik itu dari pesan komunikasinya
Komik digital, menurut Iman, tak jauh berbeda dengan pembuatan komik secara konvensional. Sebab, kata Iman yang juga dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, menegaskan, bahwa kekuatan komik itu adalah bagaimana pesan komunikasi dapat tersampaikan dengan baik.
“Di komik itu prinsipnya bagaimana kita mampu menceritakan suatu ide atau pesan ke dalam bentuk rangkaian gambar yang berurutan. Sekuensial art itu di situ. Jadi, apapun itu mediumnya, mau pensil atau digital, sebetulnya kemampuan kita bercerita dan kemampuan mengekspresikan dalam bentuk visual yang tepat sasar,†kata Iman.
Dalam menilai karya komik digital peserta FLS tahun ini, ia mengungkapkan, ada kriteria yang harus terpenuhi, diantaranya ketepatan menjawab tema, kebahasaan, kreativitas dalam visualisasi dan cara teknik bercerita. Tema yang diangkat pada tahun ini yakni linimasa cinta.
Linimasa cinta itu, kata Iman, berkaitan tentang waktu. Jadi, penafsiran terhadap diksi ini, kata Iman, sangatlah luas, bisa tentang diri sendiri, pencapaian diri, orang lain, ataupun teman.
“Di situ tantangan kreatifitias untuk menjawabnya dan men-describe ke dalam bentuk storytelling. Memang, menjawab kata kunci linimasa awalnya agak berat untuk mereka, padahal linimasa mereka sudah melakukan itu sehari-hari dengan sebutan timeline,†kata Iman.
Ia berharap, agar para peserta FLS, terutama di bidang komik, untuk terus berkarya dan meggunakan gawai bukan hanya sekadar untuk bermedia sosial, melainkan membuat komik dan menghasilkan sesuatu yang bernilai tambah.
“Siswa SMA, daripada main medsos, lebih baik gadget digunakan untuk membuat komik, karena komik akan akan menghasilkan suatu nilai tambah, disamping produktifivas mereka. Melalui komik, mereka bisa menjadi selebritas di komik. Daripada hanya habis menggunjing di medsos lebih baik berkarya,†kata Iman berpesan.
Ia pun kembali menegaskan, untuk menghasilkan komik, apapun itu medianya, mau pensil atau digital, yang terpenting adalah kemampuan pembuat komik untuk bercerita dan mengekspresikannya dalam bentuk visual dan tepat sasar.
Penulis |  :  | |
Editor |  :  | |
Dilihat |  :  | 275 kali |
Materi pemahaman akan semangat kebhinekaan perdamaian dan non diskriminasi dalam Pembinaan Kerohanian tingkat SMA 2019