Selain pemaparan dari narasumber, kegiatan Diseminasi Program Pembinaan Peserta Didik 2019 juga diisi dengan kegiatan utama, yaitu diskusi kelompok. Kegiatan ini bertujuan untuk memetakan berbagai permasalahan yang terkait dengan pembinaan kesiswaan dalam upaya mencari solusi mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi di sekolah.
Diskusi dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok A (D.I Aceh, Sumut, Sumbar, Babel, Jabar, Kalsel, Kaltara, Bali, Sulsel, Sultra, Maluku), kelompok B (Riau, Kepri, Jambi, Bengkulu, Jateng, D.I Y, Kaltim, NTB, Sulbar, Gorontalo, Malut, Papua), dan Kelompk C (Sumsel, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jatim, Kalbar, Kalteng, NTT, Sulteng, Sulut, dan Papua Barat).
Tema utama yang diperbincangkan dalam diskusi tersebut yaitu akar permasalahan sekaligus model solusi dalam mencegah dan menanggulangi tindak kekerasan peserta didik remaja, khususnya pelajar SMA. Setiap provinsi mempresentasikan permasalahan berikut solusinya dalam durasi waktu 15 menit dan membuat ulasan dalam bentuk power point untuk kemudian dipilih menjadi yang terbaik. Sebanyak 3 provinsi terpilih dari tiap kelompok wajib memaparkan hasil diskusi dalam pleno kepada seluruh peserta diseminasi.
Salah satu fasilitator kegiatan, Rahmat Hidayat M.Pd mengatakan, diskusi berlangsung seru dan konstruktif. Para peserta menyadari bahwa fenomena kekerasan pada remaja di Indonesia sudah sampai pada situasi yang sangat memprihatinkan. Jika ditinjau dari akar masalahnya, tidak ada faktor tunggal yang dianggap sebagai pemicu kekerasan, melainkan banyak faktor yang berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung yang memicu timbulnya kekerasan. “Fakta tentang banyaknya fenomena kekerasan memang tidak boleh dipungkiri, namun sikap yang harus ditonjolkan adalah mengambil pelajaran sekaligus segera mencari solusi yang tepat untuk mengatasinya,†kata Rahmat.
Para peserta diskusi bersepakat bahwa sekolah dewasa ini sangat terbebani dengan stereotype yang berkembang di masyarakat dan sekolah adalah satu-satunya lembaga yang harus bertanggung jawab jika terjadi tindak kekerasan yang dilakukan oleh remaja. “Padahal, sesungguhnya berdasarkan data yang dihimpun serta pengakuan dan penelusuran dari pihak sekolah, siswa-siswi yang “bermasalah†biasanya dilatarbelakangi oleh kondisi keluarga, dan lingkungan (pergaulan) yang senantiasa ‘mereproduksi’ kekerasan. Berdasarkan hal tersebut, direkomendasikan perlunya pengembangan program dan kurikulum untuk keluarga dan masyarakat dalam mencegah dan menanggulangi tindak kekerasan. Para orang tua siswa tidak tahu apa yang harus mereka lakukan terhadap anak-anak usia remaja ini. Mereka seolah-olah sudah terbebas dari tanggung jawab bila telah memasrahkan anaknya ke sekolah dan membiayainya.†Jelas Ibu Fatimah Asri, peserta diseminasi asal Kalimantan Timur.
Oleh karena itu, lanjut Fatimah, perlu adanya kesadaran bersama antara sekolah, orang tua dan masyarakat untuk bertanggung jawab terhadap sikap, perilaku dan karakter generasi muda (siswa). Kalau hanya dibebankan pada sekolah maka terjadi ketidak seimbangan penguatan karakter siswa tersebut. Ketika seluruh elemen masyarakat dan orang tua peduli terhadap proses perbaikan dalam aktivitas siswa atau anak-anak mereka maka akan meminimalisir perilaku destruktif atau hobby melakukan tindakan kekerasan tersebut.
Pada diskusi tersebut juga dikemukakan bahwa pemerintah memang telah mengeluarkan kebijakan berupa Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Permendikbud ini mengatur tata cara pencegahan dan penanggulangan kekerasan dan sekolah harus berperan aktif serta membentuk gugus depan guna mencegah dan menanggulangi tindak kekerasan di satuan pendidikan. Melalui kebijakan ini dimaksudkan untuk menciptakan kondisi proses pembelajaran yang aman, nyaman, dan menyenangkan, serta menghindarkan semua warga sekolah dari unsur-unsur atau tindakan kekerasan. Permendikbud ini juga mengatur sanksi yang bisa dikenakan terhadap peserta didik yang melakukan tindakan kekerasan, atau sanksi terhadap satuan pendidikan dan kepala sekolah, jika masih terdapat praktik kekerasan di lingkungan sekolahnya.
Namun hingga saat ini kebijakan tersebut belum sepenuhnya diimplementasikan. Hal tersebut mungkin dikarenakan kurangnya informasi, dukungan, dan komitmen dari berbagai pihak untuk mensukseskannya.
“Persoalan kekerasan di sekolah tidak mungkin sepenuhnya diatasi dengan kebijakan ini. Permen (baca;peraturan menteri) hanya mampu memberikan kerangka hukum bila sudah terjadi kekerasan ataupun paling jauh sebagai sarana untuk mengatasi potensi terjadinya kekerasan. Menurut saya tidak ada kendala dalam penerapan permen ini, yang paling utama adalah adanya satgas di lingkup sekolah untuk proses penegakkanya. Perlu juga diadakan dialog atau musyawarah dengan melibatkan OSIS dan MPK di setiap sekolah dalam proses pencegahan tindak kekerasan tersebut.†ujar salah satu peserta diskusi asal provinsi Jawa Barat, Eka Priyatna.
Namun begitu, lanjut Eka, karena regulasi lebih ke formalitas, tentu tidak akan efektif manakala sekolah tidak mau peduli serta melaksanakan sebagaimana permen yang ada. Contoh, belum semua sekolah membentuk Satgas Anti Kekerasan di sekolah. Sementara, permen itu sendiri masih perlu dikembangkan lebih jauh sesuai dengan karakter masing-masing sekolah. Tentu permen ini sifatnya acuan. Oleh karena itu, sekalipun acuan permen ini dilaksanakan, tentu juga belum bisa menjamin tidak akan ada kekerasan di sekolah.
Dikatakan Eka, pada dasarnya, untuk menciptakan suasana sekolah yang aman, nyaman, dan menyenangkan serta bebas dari kekerasan, lebih banyak ditentukan bagaimana kultur sekolah itu sendiri. Kultur sekolah tidak semata ditentukan dari bagaimana tingkah laku seluruh warga sekolah, tetapi lebih dari pada itu, sudah menyangkut pula pemahaman bersama, cara-cara mengaktualisasikan seluruh proses interaksi di sekolah. Bahkan kultur sekolah adalah perwujudan roh kehidupan sekolah itu sendiri dan untuk mewujudkan kultur yang kondusif tentu sangat bergantung manajemen pengelolaan sekolah dan komitmen seluruh warga sekolah.
Teks: rinda
Foto : bernawan
Penulis |  :  | |
Editor |  :  | l0wtun3 |
Dilihat |  :  | 843 kali |
Materi pemahaman akan semangat kebhinekaan perdamaian dan non diskriminasi dalam Pembinaan Kerohanian tingkat SMA 2019