Jakarta, 1 Mei 2021 – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, merefleksi kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan persiapan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) yang menjadi terobosan di masa pandemi. Hal tersebut ia sampaikan pada Dialog Vaksin Untuk Indonesia - Pandemi Tak Memupus Mimpi yang digelar Metro TV, bersama grup musik Slank, Jumat (30/4)
Dalam kesempatan tersebut, Mendikbudristek mengatakan, kebijakan PJJ membuat banyak orang tua menyadari pentingnya peran mereka dalam pendidikan anak. Kesadaran ini memaksa orang tua untuk terlibat di pendidikan anak dan guru juga punya kesadaran baru bahwa orang tua adalah mitra pendukung pendidikan anak. “Orang tua sadar dirinya harus belajar jadi guru di rumah,” jelasnya.
Diakuinya, banyak pihak masih khawatir akan risiko PTM yang akan dilakukan di tahun ajaran baru 2021. Namun dengan peraturan vaksin diprioritaskan (untuk para guru), Nadiem merasa sudah waktunya pembelajaran kembali ke sekolah. Menurut dia, tidak ada solusi lain selain anak-anak harus mulai berinteraksi lagi.
Di sisi lain, Menteri Nadiem menekankan bahwa orang tua memiliki hak mutlak menentukan apakah anaknya sudah boleh ikut sekolah tatap muka. Tetapi sekolah, tuturnya, wajib menyediakan opsi tatap muka. “Itu hak prerogatif orang tua untuk memilih anaknya mau PTM atau PJJ,” tegas Mendikbudristek.
Dimintai pendapatnya oleh Slank tentang banyaknya peserta didik yang mengaku rindu pada guru dan teman-teman di sekolah, Mendikbudristek mengatakan, inilah alasan untuk mendukung anak-anak kembali tatap muka dan inilah mengapa pihaknya mendorong guru-guru diprioritaskan untuk divaksinasi. Maka, aturan barunya adalah ketika guru-guru sudah divaksinasi, sekolah wajib memberikan opsi tatap muka..
“Alhamdulillah, kita dapat dukungan Pak Presiden untuk prioritas vaksinasi guru. Jadi dari alokasi pejabat pemerintah, guru jadi yang terpenting agar kita bisa segera PTM. Targetnya, di Bulan Agustus di mana kita sudah masuk tahun ajaran yang baru, semua sekolah itu sudah menyediakan opsi tatap muka,” jelas Mendikbudristek.
Akhadi Wira Satriaji atau yang lebih akrab disapa Kaka Slank, mengajak masyarakat untuk lebih peduli pada pendidikan anak-anak di Indonesia. Kaka menyebut, ada risiko banyak anak terancam putus sekolah akibat pandemi. “Kami ajak semuanya menyelamatkan anak-anak bangsa yang terancam putus sekolah dengan berdonasi,” ajaknya.
Transisi Menuju Tatap Muka
Mohammad Ridwan Hafiedz atau Ridho Slank bercerita bahwa anaknya diberi kuisioner dari sekolah, yang berisi pertanyaan kesediaan untuk pembelajaran tatap muka. Ridho mengakui anaknya sangat ingin untuk kembali ke sekolah. Berbeda dengan Ridho, Bimo Setiawan Almachzumi atau akrab disapa Bimbim Slank, mengaku putrinya di rumah mengaku belum berani tatap muka walau enggan juga sekolah daring.
Menjawab hal tersebut, Mendikbudristek mengungkapkan hasil dari berbagai survei yang dihimpun maupun yang dilakukan Kemendikbudristek. Ia menyebut, mayoritas peserta didik dan orang tua sudah ingin tatap muka. “Hampir 80 persen sudah ingin tatap muka. Karena juga sudah lebih percaya diri dengan protokol kesehatan,” jelasnya.
Dalam hangatnya perbincangan yang dilakukan Menteri Nadiem dan Slank ini, salah satu orang tua peserta didik, Senny, bertanya tentang transisi menuju PTM. Ia mengaku senang dengan rencana transisi menuju PTM tapi tetap ada kekhawatiran yang dirasakan. “Anak saya kelas 3 SD, dan kami senang sekali (dengan rencana PTM), tapi kekhawatiran itu tetap ada. Kegalauan ibu-ibu umumnya adalah jaminan yang bisa diberikan agar kita rela dan ikhlas melepas anak-anak? Karena kita tahu anak-anak tidak seperti kita menjaga protokol kesehatan. Bagaimana mengatasinya, Mas Menteri?” tutur Senny.
Mendengar pertanyaan tersebut, Menteri Nadiem menjawab bahwa dirinya tidak bisa memberikan jaminan. Tetapi yang harus diingat dan yang terpenting, tuturnya, keputusan itu ada di masing-masing orang tua. “Itu dulu dipegang. Tiap orang tua mengenal anaknya dan punya level risiko tersendiri. Hak memutuskan anak kembali ke sekolah secara tatap muka atau masih PJJ saja, ada di orang tua. Sekolah tidak boleh memaksa, itu hak orang tua,” tegas Mendikbudristek lagi.
Alasan kedua, lanjut Mendikbudristek, berjalannya vaksinasi guru-guru meringankan beban transisi ini. Selain itu, semua orang tua berhak datang langsung, memonitor, dan bergerak melihat ke sekolah, dan ikut memastikan bahwa protokol kesehatan benar terjadi. Ia menyebut, peran orang tua dalam kesuksesan PTM ini sangat penting. Tentunya ada peran kementerian terkait, dinas kesehatan, dan pihak sekolah. Kementerian Kesehatan pun telah membuat protokol kesehatan yang sangat ketat. “Namun, akhirnya kembali kepada keputusan Ibu sendiri untuk memilih apakah anak sudah boleh mengikuti tatap muka,” terang Mendikbudristek.
Selain Senny, Mendikbudristek juga mendengar pendapat orang tua peserta didik PAUD dan SD, Anastasya. Lewat sambungan telepon, Anastasya mengungkapkan bahwa kedua anaknya memang ingin kembali ke sekolah. Ada kerinduan untuk dapat bermain dengan teman-teman. Namun, yang ia khawatirkan adalah anak-anak SD yang mungkin belum paham betul protokol kesehatan. “Kalau anak SMP dan SMA mungkin sudah mengerti protokol kesehatan. Tapi, kalau anak-anak di bawah kelas 3 SD, ada kemungkinan bersentuhan dengan teman di sekolah. Ibu-ibu sudah ingin anaknya sekolah semua. Tapi bagaimana jika lingkungannya masih zona merah?” tanyanya.
Menjawab hal tersebut, Menteri Nadiem menjelaskan bahwa masing-masing sekolah akan melalui polanya sendiri. Ada sekolah yang mau buka cuma dua kali seminggu, ada yang bergiliran pagi dan sore. Masing-masing sekolah akan menentukan cara rotasinya, dan sistem itu tergantung kebutuhan masing-masing anak dan orang tua di lingkungan. “Yang penting, karena aturan mainnya hanya boleh 50 persen kapasitas di sekolah, mau tidak mau akan jadi hibrida,” jelasnya.
Rekomendasi kedua, lanjut Mendikbudristek, adalah orang tua disarankan langsung mengamati sendiri ke sekolah. Misalnya, tatap muka hari pertama, orang tua tidak mau kirim anak ke sekolah, tidak apa-apa. Orang tua bisa dating dulu ke sekolah, memonitor bagaimana protokol kesehatan dan pembelajaran dijalankan. Hari kedua, mungkin orang tua lebih yakin dengan anak yang lebih disiplin lalu memutuskan tidak apa-apa anaknya pergi ke sekolah. “Kalau anak yang Ibu belum yakin, tidak apa-apa masih PJJ. Ibu harus mengambil inisiasi sendiri. Pastinya, hak prerogatif bagi Ibu dan semua orang tua, di mana mau mengambil risiko tersebut. Tugas kami di pemerintahan adalah memastikan protokol kesehatan yang paling ketat menjadi aturan main,” ungkapnya.
Transformasi Digital Indonesia Timur
Diminta pendapat tentang pendidikan, khususnya di Indonesia Timur, Mendikbudristek menyatakan bahwa menutup jurang kesenjangan menjadi prioritas kebijakan yang ia ambil, termasuk di bidang teknologi. “Alhamdulillah, kerja sama dengan Pak Menkominfo, jaringan-jaringan sekolah menjadi prioritas, untuk menutup kesenjangan yang tidak ada internet,” ujarnya. Namun, peran guru, tambah Mendikbudristek, adalah yang terpenting.
“Bagaimana kita bisa memastikan guru-guru dan sekolah-sekolah penggerak kita terdistribusi secara rata, dan harus ada insentif bagi guru2 terhebat ini, apalagi yang mengajar di tempat-tempat paling sulit dan pelosok,” kata Mendikbudristek.
Terkait transformasi di Indonesia Timur, seorang guru di Desa Gaura, Kecamatan Laboya Barat, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, mengungkapkan dirinya juga telah divaksinasi di puskesmas desa. Ia pun bertanya pada Mendikbudristek tentang pendidikan karakter. “Bagaimana agar ada gebrakan kurikulum untuk membuat siswa lebih bermoral? Sejak era digital ini, moral siswa banyak yang makin hilang dengan berbagai aplikasi modern,” ungkap Solihin yang bertanya secara virtual.
Mendikbudristek memastikan bahwa pendidikan moral bukan hanya soal penguatan kurikulum, walau hal tersebut selalu berjalan sesuai arahan Presiden Joko Widodo terkait penyederhanaan dan penyempurnaan kurikulum. “Tapi yang penting adalah bagaimana anak-anak belajar. Kalau selama ini anak-anak hanya belajar satu arah, bagaimana mereka bisa mengembangkan karakter Pelajar Pancasila? Anak-anak kita harus berpindah ke cara belajar dengan mengerjakan berbagai proyek sosial dan kemanusiaan. Itulah cara mereka belajar Pancasila, dengan kolaborasi dan implementasi di lingkungannya,” jelas Mendikbudristek. Dirinya meyakini, bahwa project based learning (PBL) akan menjadi transformasi pola belajar yang penting, dengan aspek-aspek partisipasi, berdasarkan kerja sama kelompok, dan hasil karya yang nyata. “Dari situ, anak-anak akan siap di dunia perubahan yang penuh disrupsi teknologi,” tutupnya. (Lydia A.M.)
Penulis |  :  | |
Editor |  :  | |
Dilihat |  :  | 215 kali |
Duta SMA Nasional 2023 Shafiqa Azwa Hafiza Peduli Literasi dan Bahasa Isyarat
Lantar Maulana Anugerah Daiva Duta SMA Nasional 2023 Prihatin dengan Maraknya Kekerasan di Kalangan Pelajar
VANIA PUTRI ARFANDA KURNIA DUTA SMA NASIONAL BERBAKAT 2023 Menggali Potensi Meraih Prestasi
Muhammad Iqbal Raihan Siswa SMA MUHAMMADIYAH 1 YOGYAKARTA Matematika Adalah Solusi