Pada hakikatnya pendidikan adalah upaya tranformasi budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perkembangan pendidikan saat ini nampaknya mengacu pada empat pilar pendidikan UNESCO (https://unesdoc.unesco.org/ark, 1999) yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Ke-empat pilar tersebut nampaknya perlu dilihat sebagai upaya memahami pendidikan secara komprehensif dimana ke-empat pilar tersebut merupakan pondasinya. Sementara pemerintah mengartikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan seperti tercantum pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2003).
Sejalan dengan tujuan pendidikan nasional maka pendidikan difokuskan untuk dapat memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya, mendapatkan pengetahuan serta keterampilan yang dibutuhkan untuk hidup dalam membangun kesejahteraan manusia yang secara tidak langsung akan mempengaruhi peningkatan ekonomi suatu negara. Untuk mengetahui tingkat harapan hidup, hal ini dimuat pada penilaian Human Development Index (HDI) suatu negara yang mengukur perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup bagi semua negara seluruh dunia (http://hdr.undp.org).
Berdasarkan tujuan di atas sangat jelas bahwa pendidikan berpengaruh besar bagi kelangsungan pembangunan nasional. Dengan kematangan pemberdayaan substansi pendidikan tersebut diharapkan dapat tercapainya sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, adaptif serta generatif dalam mengatasi berbagai permasalahan yang begitu kompleks dimasa depan. Upaya peningkatan sumber daya manusia harus dilakukan karena SDM tersebut sangat berperan sebagai kekayaan Negara yang kekal dan sebagai investasi untuk mencapai kemajuan bangsa.
Khususnya pada era sekarang ini dimana telah berlangsung penerapan kerjasama regional kawasan Asia Tenggara, yang sering disebut dengan ASEAN Economic Community (http://setnas-asean.id) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mengharuskan masing-masing Negara bergabung didalamnya mempersiapakn diri untuk bersaing satu sama lain, termasuk Negara Indonesia. Berbanding terbalik dari harapan yang seharusnya, kini masih terdapat salah satu masalah pokok di era MEA yang belum juga tertuntaskan dari setiap upaya yang telah dilakukan dalam rangka meningkatkan kualiatas SDM di Negara ini. Pokok permasalahan tersebut ialah “pengangguran”. Tingkat pengangguran masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, terutama untuk angkatan kerja terdidik.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (dimuat dalam http://bps.go.id), angkatan kerja Indonesia pada Agustus 2016 sebanyak 125,44 juta orang naik sebanyak 3,06 juta orang dibandingkan Agustus 2015. Dengan Tingkat pengangguran terbuka (TPT) Agustus 2016 sebesar 5,61 persen menurun dibanding TPT Agustus 2015 (6,18 persen) dan meningkat dibandingkan TPT Februari 2016 (5,50 persen). Pada Agustus 2016 TPT untuk pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan menempati posisi tertinggi (11,11), disusul oleh TPT Sekolah Menengah Atas (8,73). Sementara TPT terendah terdapat pada tingkat pendidikan SD ke bawah yaitu sebesar 2,88 persen. Hal ini dikarenakan mereka yang berpendidikan rendah cenderung mau menerima pekerjaan apapun, sementara mereka yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih pekerjaan yang sesuai, seperti pada tabel berikut:
Fakta lainnya juga ditunjukkan sebagai potret SDM di Indonesia, seperti yang diungkapkan oleh Menteri Koperasi dan UKM Anak Agung Gede Ngurah Prayoga (dalam http://republika.co.id pada tanggal 5 Desember 2016), bahwa jumlah pengusaha (entrepreneur) di Indonesia di tahun 2015 hanya sekitar 1,56 persen dari jumlah penduduk saat ini, sedangkan Singapura telah mencapai angka 7,2 persen, Malaysia 5 persen, dan Thailand 4,1 persen: Pada hal jika dibandingkan terhadap SDM dan SDA yang ada, Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan dengan kedua negara tersebut.
Persoalan pengangguran di Indonesia seperti persentase di atas tidak terlepas dari seberapa besar peran pendidikan dalam mencetak lulusan yang umumnya lebih cenderung diarahkan untuk menjadi pencari kerja dari pada menciptakan lapangan kerja. Padahal terjadi ketimpangan antara ketersedian lapangan kerja dengan pencari kerja yang sangat tidak seimbang. Serta dengan masih minimnya jumlah wirausaha (entrepreneur) seperti yang disebutkan di atas padahal berdasarkan penelitian oleh David McClelland (2009) untuk mencapai kemakmuran suatu Negara dibutuhkan setidaknya 2 persen dari jumlah penduduknya untuk menjadi wirausaha (entrepreneur).
Entrepreneur adalah orang yang berjiwa berani mengambil resiko untuk membuka usaha dalam berbagai kesempatan. Berjiwa berani mengambil resiko artinya bermental mandiri dan berani memulai usaha, tanpa diliputi rasa takut atau cemas sekalipun dalam kondisi tidak pasti (Kasmir, 2008: 65). Pendidikan kewirausahaan atau entrepreneurship merupakan kajian internasional terkini yang terus diteliti dan dikembangkan secara dinamis di seluruh belahan dunia. Program entrepreneurship dilakukan mulai dari universitas, sekolah menengah, sekolah dasar hingga ada playgroup of entrepreneurship untuk anak-anak.
Sejak penerapatan Kurikulum 2013, khusus jenjang SMA, sekolah telah menerapkan kurikulum berbasis entrepreneur dalam mata pelajaran prakarya dan kewirausahaan. Materi kewirausaahan diberikan selama 3 tahun, dimana kompetensi dasar diperkaya dengan keunggulan lokal. Jiwa entrepreneur terlihat dari salah satu kompetensi dasar dalam kurikulum yakni membuat keputusan kegiatan berwirausaha. Pendidikan kewirausahaan jelas sangat dibutuhkan dalam konten pembelajaran di sekolah, apabila siswa telah lulus nantinya dari pendidikan sekolah menengah atas mereka akan memiliki banyak pilihan (Kemdikbud, 2013).
Hal diatas sesuai dengan pendapat Potter (2008: 182) bahwa, “Key role of entrepreneurial education is to create momentum for change; development starts in small steps, as others follow and momentum grows”. Pendapat tersebut dapat dimaknai bahwa pendidikan kewirausahaan dimanfaatkan sebagai momentum awal menciptakan lulusan yang berjiwa wirausaha melalui pembentukan pola pikir (mindset) dan jiwa (spirit) menjadi pengusaha. Berdasarkan hal tersebut di atas pengembangan potensi yang ada pada diri setiap peserta didik sangat diperlukan sebagai upaya memecahkan segala permasalahan yang dihadapi dalam kehidupannya.
Menurut Kurniawan (2014:1) Pendidikan Kewirausahaan merupakan proses pembelajaran penanaman tata nilai kewirausahaan melalui pembiasaan dan pemeliharaan perilaku dan sikap. Sejalan dengan Kurniawan, Zutiasari (2012:16), menyatakan bahwa pendidikan kewirausahaan dalam lingkungan sekolah dijelaskan pertanyaan yang mengukur pengetahuan siswa mengenai kewirausahaan, ketrampilan siswa dalam menciptakan ide-ide baru dan penanaman tata nilai sikap atau perilaku siswa dalam berwirausaha. Pendidikan kewirausahaan juga harus mampu mengubah pola pikir para peserta didik untuk mengembangkan ide-ide kreatif.
Menurut Suryana (2003: 39), Kreativitas adalah berpikir suatu yang baru sebagai kemampuan untuk mengembangkan ide-ide baru dan untuk menemukan cara-cara baru dalam memecahkan persoalan dalam menghadapi peluang. Hadiyati (2011:10), menjelaskan bahwa memahami kreativitas (daya cipta) akan memberikan dasar yang kuat untuk membuat modal atau perangkat tentang kewirausahaan karena peran sentral dalam kewirausahaan adalah adanya kemampuan yang kuat untuk menciptakan (to create or to innovate) sesuatu yang baru. Nilai-nilai kewirausahaan akan menjadi karakterisktik peserta didik yang dapat digunakannya dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Berdasarkan pernyataan tersebut dan pendapat dari beberapa ahli mengenai hubungan pendidikan kewirausahaan dan kreativitas peserta didik ialah memiliki hubungan atau berpengaruh. Pendidikan kewirausahaan dapat diajarkan melalui nilai-nilai kewirausahaan yang akan membentuk karakter dan perilaku untuk berwirausaha agar peserta didik kelak dapat mandiri dalam bekerja atau dalam mandiri berusaha. serta dijadikan sebagai tolak ukur untuk mengetahui sejauh mana kreativitas seorang peserta didik dalam menumbuh kembangkan kesadaran dan ketrampilan kewirausahaan yang sesuai dengan keahlian yang diminati siswa dalam rangka meopang kehidupan di masyarkat kelak.
Banyak program pembaharuan dalam dunia pendidikan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah, menjanjikan harapan bagi peningkatan mutu pendidikan pada saat krisis, namun karena pengelolaan yang tidak fleksibel dan cenderung sentralistik, maka program itupun tidak banyak membawa dampak yang positif, angka partisipasi pendidikan nasional maupun mutu pendidikan tetap menurun. Hal ini diduga erat kaitannya dengan masalah manajemen (Mulyasa, 2011 : 10). Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, antara lain penyempurnaan kurikulum, pengadaan bahan ajar, peningkatan kompetensi guru dan tenaga kependidikan, peningkatan manajemen pendidikan, serta pengadaan fasilitas pendidikan.
Upaya peningkatan manajemen pendidikan melalui pendekatan pemberdayaan sekolah dalam rangka mengelola institusi pendidikan telah dilakukan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia baik sebelum otonomi daerah maupun sesudah otonomi daerah. Pada era otonomi daerah, muncul program pemberdayaan sekolah melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 51, disebutkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip Manajemen Berbasis Sekolah/sekolah. Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah merupakan salah satu bentuk desentralisasi pengelolaan pendidikan yang dipilih dengan tujuan untuk memandirikan sekolah dan secara luas dapat meningkatkan mutu pendidikan nasional. Kebijakan ini diimplementasikan dengan menerapkan pembelajaran yang menyenangkan, manajemen yang transparan, dan melibatkan peran serta masyarakat Direktorat PSMA, 2018.).
Gagasan tentang pentingnya pendidikan untuk mengembangkan potensi daerah berkembang sebelum munculnya gerakan reformasi tahun 1998 (Arifin, 2006). Pendidikan yang sesuai dengan potensi daerah dan lingkungan, kemudian dirumuskan sebagai pendidikan yang berbasis keunggulan lokal dan diatur dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 pada pasal 50 ayat 5 (Depdiknas, 2003). Satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal merupakan paradigma baru di Indonesia dalam mengembangkan potensi suatu daerah agar bisa memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Menurut Williams (2008), pendidikan berbasis keunggulan lokal memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut:
Setiap daerah memiliki potensinya masing-masing dan bisa berbeda-beda tiap daerah satu dengan daerah yang lain. Potensi ini yang seharusnya menjadi basis pengembangan kesejahteraan masyarakat. Dan untuk itu, tujuan pendidikan juga harus diarahkan untuk menunjang pengembangan potensi daerah. Pendidikan tidak dapat diterapkan secara seragam, karena tujuan pendidikan harus diambil dari masyarakat di mana pendidikan itu berlangsung (Sugestiyadi, 2011). Pendidikan selain mengacu pada kepentingan nasional, juga harus memperhatikan kearifan lokal yang dimiliki tiap daerah dan memperhatikan kebutuhan serta potensi lokal sesuai dengan daerah masing-masing.
Keunggulan lokal adalah segala potensi yang ada di daerah dan menjadi karakteristik daerah tersebut. Keunggulan lokal dapat digunakan sebagai bahan untuk terus dikembangkan di setiap daerah dan menjadi barometer pengembangan suatu daerah. Penerapan pendidikan berbasis keunggulan lokal dalam pendidikan formal ada dua cara, yaitu melalui pelajaran muatan lokal atau dengan membuka bidang keahlian yang sesuai dengan potensi daerah.
Salah satu pola inovasi yang dapat diikuti oleh pola manajemen inovasi yang dikembangkan dari reinventing management di Amerika Serikat, dalam Indriati (2011), menyebutkan ada 6 prinsip dasar inovasi yang dikontekskan dengan inovasi pendidikan, yaitu:
Berpedoman pada pola inovasi tersebut di atas, bukan suatu yang tidak mungkin jika sekolah harus dan dituntut untuk lebih meningkatkan kinerja dan akuntabilitas manajemen dalam penyelenggaraan proses pendidikan di sekolah. Untuk mengetahui kinerja itu baik atau tidak, diperlukan adanya proses penilaian. Otonomi dibidang pendidikan berbeda dengan otonomi dibidang lainya, perbedaannya bahwa pelaksanaan otonomi dibidang pendidikan tidak hanya sampai pada tingkat kabupaten/Kota saja, melainlan sampai pada tingkat sekolah yang merupakan garis terdepan dalam penyelenggaran pendidikan. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), merupakan salah satu model pelaksanaan otonomi dibidang pendidikan. Jika sekolah menerapkan MBS, maka sekolah mempunyai kewenangan untuk melakukan kreasi, inovasi dan improvisasi dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah sistem manajemen sekolah. Secara langsung manajemen sekolah mempengaruhi dan menentukan efektif tidaknya kurikulum, berbagai sarana belajar, jadwal mengajar, dan proses belajar mengajar. Oleh karena itulah upaya peningkatan kualitas pendidikan harus dimulai dengan penataan manajemen sekolah, di samping peningkatan kompetensi guru, dan pengembangan sumber belajar (Dally, 2010:18). Proses pengembangan wirausaha berbasis pada penguatan potensi lingkungan sekitar ini perlu melakukan proses kolaborasi (kerja sama) antar stakeholder ekosistem kewirausahaan melalui kemitraan. Makna kolaboratif mengacu pada tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak yang melakukan kolaboratif, maka di antara mereka harus melakukan perencanaan, pelaksanaan, penilaian secara bersama-sama.
Dalam konteks peningkatan mutu tidak terlepas dari penilaian kinerja sekolah sebagai institusi pendidikan. Balanced scorecard merupakan sistem perencanaan manajemen dan penilaian kinerja yang dikembangkan oleh Kaplan dan Norton. Balanced Scorecard dipublikasikan pada tahun 1992 dalam Jurnal Harvard Review yang berjudul Balanced Scorecard–Measures that Drive Performance. Balanced Scorecard tidak hanya menilai kinerja entitas dari aspek keuangan saja, namun dengan menerjemahkan visi dan strategi entitas ke dalam berbagai tujuan dan ukuran yang tersusun dalam empat perspektif, yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, serta perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Balanced Scorecard kini diimplementasikan oleh berbagai organisasi kelas dunia sebagai sistem manajemen strategis dan bahkan sebagai sarana pemandu serta pendorong proses perubahan manajemen dan kultur organisasi termasuk pada implementasi Manajemen Berbasis Sekolah.
Junus Simangunsong
Direktorat Sekolah Menengah Atas
junussim@gmail.com
Penulis |  :  | |
Editor |  :  | |
Dilihat |  :  | 1903 kali |
Rapat Koordinasi Evaluasi Kebijakan Pendidikan Dasar dan Menengah Upaya Tingkatkan Mutu Pendidikan Berbasis Kebijakan Zonasi dan Pengangkatan Guru
Evaluasi Kebijakan Pendidikan Wapres Minta Solusi untuk Masalah yang Berulang
Sinergi Kemendikdasmen dan Pemda Guna Tingkatkan Kualitas dan Pemerataan Pendidikan