A. Penerapan Balanced Scorecard pada Lembaga Pendidikan
Salah satu kunci untuk meningkatkan mutu kinerja lembaga pendidikan adalah melibatkan lebih banyak dan lebih dalam lagi ke dalam pekerjaan-pekerjaan lembaga pendidikan itu. Untuk kepentingan ini peranan para pimpinan lembaga pendidikan untuk mengubah dan menciptakan suasana kerja yang kondusif untuk itu sangat besar dan penting. Kadang-kadang pimpinan itu harus mengambil inisiatif untuk itu. Meskipun sekarang ini sering dikatakan sebagai era teknologi, namun untuk memajukan dan meningkatkan mutu lembaga pendidikan, sumber energi yang terpenting adalah sumberdaya manusia yang ada di dalamnya.
Tingkat dedikasi, komitmen dan kompetensi orang-orang yang bekerja itu yang akan menentukan sampai seberapa jauh lembaga pendidikan akan mampu meningkatkan mutu kinerjanya. Pemberdayaan adalah bahan bakar untuk menciptakan suasana kerja yang kondusif untuk meningkatkan mutu. Pemberdayaan atau empowerment merupakan proses membangun dedikasi dan komitmen yang tinggi sehingga organisasi itu bisa menjadi sangat efektif dalam mencapai tujuan-tujuannya dengan mutu yang tinggi. Dalam organisasi yang telah diberdayakan akan tercipta hubungan di antara orang-orangnya yang saling berbagi kewenangan, tanggung-jawab, komunikasi, harapan-harapan, dan pengakuan serta penghargaan. Hubungan kerja semacam itu sangat berbeda dengan hubungan kerja yang secara tradisional didasari oleh hubungan hirarkhi dalam organisasi. Aset yang paling berharga dari suatu lembaga pendidikan adalah orang-orang yang bekerja di dalamnya yang ditunjukkan oleh pengetahuan, ketrampilan, sikap mental, kreatifitas, motivasi dan kemampuan bekerjasama yang mereka miliki.
Bagi para pelaksana di lembaga pendidikan, guru, teknisi, pegawai administrasi, dan sebagainya, pemberdayaan merupakan kebutuhan yang harus mereka peroleh. Sebaliknya bagi para pimpinan mulai dari yang tertinggi sampai ke yang terrendah pemberdayaan adalah suatu fungsi yang harus mereka lakukan atau berikan kepada para pelaksana. Bagi suatu organisasi yang mendambakan kualitas kinerja yang terus meningkat pemberdayaan adalah suatu proses yang harus terjadi. Tanpa proses pemberdayaan suatu lembaga pendidikan akan sulit untuk bisa memenangkan persaingan yang semakin keras secara nasional ataupun secara internasional. Tanpa pemberdayaan suatu lembaga pendidikan juga akan sulit untuk memenuhi tuntutan masyarakat akan adanya pendidikan yang semakin tinggi standar mutunya. Keterbatasan berbagai sumberdaya juga mengharuskan setiap lembaga pendidikan melaksanakan pemberdayaan organisasinya.
Di lain fihak para pelaksana di lembaga pendidikan kecewa dan merasa kurang enak karena mereka merasa tidak berdaya memenuhi tuntutan organisasi akan mutu kinerja yang lebih tinggi dan adanya aturan-aturan kerja yang berubah. Pada saat yang sama mereka menuntut adanya keterbukaan manajemen dan imbalan yang lebih besar. Dalam kondisi yang ada mereka tidak pernah bisa merasa pasti tentang komitmen dan tanggung-jawabnya. Dalam situasi semacam itu lembaga pendidikan harus melakukan penyesuaian, mengem-bangkan dan belajar cara-cara baru agar dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan mutu yang lebih baik. Para pimpinan lembaga pendidikan harus terus berusaha agar organisasinya dapat memenuhi tuntutan-tuntutan mutu dari luar maupun dari dalam.
Pada dasarnya pemberdayaan adalah cara untuk melaksanakan kerjasama dalam organisasi sehingga semua orang berpartisipasi penuh. Dalam organisasi yang sudah diberdayakan para pelaksana (guru, teknisi, pegawai administrasi, pustakawan, laboran, dsb) merasa bertanggung-jawab tidak hanya tentang pekerjaan yang dikerjakannya, tetapi juga tentang keseluruhan lembaga pendidikannya agar dapat berfungsi secara lebih baik. Tim-tim yang telah diberdayakan akan bekerjasama memperbaiki kinerja mereka secara berkelanjutan, mencapai tingkat produktivitas dan mutu yang tinggi. Setelah pemberdayaan lembaga pendidikan akan terstruktur sedemikian rupa hingga orang-orang merasa bahwa mereka dapat mencapai hasil-hasil sebagaimana mereka harapkan, mereka dapat melakukan apa yang perlu mereka lakukan, dan tidak sekedar dapat melakukan apa yang mereka diperintah untuk melakukannya, dan mereka menerima penghargaan atas apa yang mereka lakukan itu.
Dinamika suatu organisasi, sebuah lembaga pendidikan, terletak pada kreativitas dan inisiatif orang-orang yang ada di dalamnya. Bila lembaga pendidikan itu dan orang-orang yang ada meng-inginkan mutu kinerja yang lebih baik, maka yang harus dilakukan adalah mencari bagaimana caranya memanfaatkan potensi kreativitas dan inisiatif yang ada pada orang-orangnya. Cara memanfaatkan potensi itu pada dasarnya adalah dengan meningkatkan kemampuannya melalui peningkatan pengetahuan dan keterampian kerjanya, memberi kewenangan atau kesempatan untuk berinisiatif dan berkreasi, dan memberi motivasi agar mereka mau berbuat. Dengan kalimat lain dapat dikatakan bahwa untuk memanfaatkan potensi orang-orang itu dengan jalan mendorongnya untuk berpartisipasi meraih kinerja lembaga pendidikan yang lebih bermutu. Agar mereka berpartisipasi perlu ditingkatkan kemampuannya, dikembangkan kemauannya, dan diberi kesem-patan untuk berpartisipasi.
Lembaga pendidikan perlu selalu berupaya meningkatkan kemampuan orang-orang yang bekerja di dalamnya apakah mereka guru atau pegawai non-edukatif seperti teknisi, laboran, pustakawan, pegawai administrasi, resepsionis, operator telepon, pengantar surat, petugas kebersihan dan keamanan, dan lain sebagainya. Meningkatkan kemampuan adalah tindakan pemberdayaan yang utama. Hal itu bisa dilakukan melalui program-program pendidikan dan pelatihan yang dilembagakan, direncanakan dan dilaksanakan secara teratur dan profesional bagi semua jenis dan tingkatan pekerja lembaga pendidikan. Tujuan utama dari pendidikan dan pelatihan itu adalah memberi wawasan yang lebih luas dan dalam tentang hakekat tugas yang diembannya, meningkatkan penguasaan keterampilan-keterampilan dasar yang relevan dengan jenis tugasnya, memperluas dan memperdalam pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan dengan tugasnya, serta menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap hal yang dipelajarinya. Dengan wawasan, keterampilan, dan pengetahuan yang selalu bertambah itu diharapkan orang-orang itu akan berkembang kreativitasnya dan berani berinisiatif untuk mencoba cara-cara baru dalam kerjanya. Cara-cara baru itulah yang bisa diharapkan dapat membawa perbaikan dan kemajuan. Tanpa adanya pendidikan dan pelatihan tambahan sulit diharapkan berkembangnya kreativitas dan inisiatif untuk melahirkan dan mencoba cara-cara baru, dan tanpa cara-cara baru sulit diharapkan adanya mutu kinerja yang lebih baik.
Sebuah institusi pendidikan harus mampu menggulirkan lembaganya untuk dapat maju dalam segala bidang. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, nampaknya sudah waktunya seorang pemimpin institusi pendidikan menjadi seorang wirausahawan. Ketika sumber keuangan makin terbatas seperti saat kini, maka keberadaan manajer institusi pendidikan yang tampil sebagai wirausahawan sangat didambakan. Dibawah kepemimpinannya, lembaga pendidikan akan terdorong untuk membangun perubahan kultur, dimana seluruh tenaga akademis dan karyawan dirangsang untuk menjadi wirausahawan sejati. Inisiatif itu akan dapat dicapai jika mereka mampu menggeser kultur kerja dari sikap dan sifat organisasi yang peternalistik ke organisasi kontraktual, dan kemampuan membangun jaringan kerja sama dengan berbagai institusi harus menjadi kesadaran riil.
Daya tahan dan keunggulan bersaing muncul ketika sebuah organisasi menerapkan strategi penciptaan nilai yang tidak dapat atau sulit ditiru manfaatnya oleh organisasi lain atau terlalu tinggi biaya untuk menirunya (Mulyasa, 2011). Analisis lingkungan internal dan eksternal merupakan landasan menyusun rencana strategis, apakah strategi agresif, bersaing, stabilitas, atau bertahan. Sedangkan keefektivan suatu strategi usaha dapat dilihat dari kinerja manajemen organisasi yang bersangkutan. Penilaian kinerja tidak mungkin terlepas dari visi, misi, dan tujuan organisasi. Pengukuran tingkat pencapaian visi, misi dan tujuan untuk periode tertentu menjadi dasar penilaian kinerja organisasi. Pengukuran kinerja yang objektif dan komprehensif akan bermanfaat dalam memberikan informasi yang sebenarnya mengenai kinerja instansi. Dengan informasi yang benar, hasil analisis kinerja instansi akan berpengaruh terhadap ketepatan penyusunan strategi peningkatan kinerja. Karakteristik pengukuran kinerja yang objektif dan komprehensif dapat ditemukan dalam model pengukuran Balanced Scorecard (Rahmawati, 2006).
Balanced Scorecard adalah sekumpulan ukuran kinerja yang mencakup empat perspektif, yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses internal dan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Kegiatan wirausaha tidak dapat dilepaskan dari unsur individu wirausahawan itu sendiri. Maju mundurnya usaha wirausahawan akan sangat ditentukan oleh inisiatif, gagasan dan inovasi, karya dan kreatifitas serta berfikir positif. Keberhasilan wirausaha dicapai apabila wirausahawan menggunakan gagasan terhadap produk, proses, dan jasa-jasa inovasi sebagai alat untuk mengendalikan perubahan. Harus disadari bahwa sebuah organisasi yang baik dengan kepemimpinan yang baik, harus diikat pula oleh nilai-nilai budaya organisasi (Nimran, 2007). Budaya organisasi dapat terbentuk secara prescriptive, yaitu melalui penurutan, peniruan, penganutan dan penaatan suatu skenario dari atas atau dari luar pelaku budaya yang bersangkutan; dapat pula secara terprogram melalui learning process, yaitu bermula dari dalam diri pelaku budaya, dari suatu kebenaran, keyakinan, anggapan dasar atau kepercayaan dasar yang dipegang teguh sebagai pendirian dan diaktualisasikan menjadi kenyataan melalui sikap dan perilaku yang diyakini oleh manajer dan bawahannya. Jejaring budaya merupakan sarana komunikasi utama dalam internalisasi nilai budaya (Susanto, 2008). Pembentukan budaya kewirausahaan salah satu pendekatannya adalah melalui proses pendidikan. Winarno (2009) menyatakan bahwa martabat yang mulia harus dibina melalui proses mental dan rasionalitas dalam pendidikan.
Namun karena lembaga pendidikan merupakan organisasi publik yang didirikan dengan tujuan memberikan pelayanan kepada masyarakat bukan mendapatkan keuntungan (profit). Organisasi ini bisa berupa organisasi pemerintah dan organisasi non-profit lainnya. Meskipun organisasi publik bukan bertujuan mencari profit, organisasi pendidikan ini dapat mengukur efektivitas dan efisiensinya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu organisasi pendidikan dapat menggunakan balanced scorecard dalam pengukuran kinerjanya. Menurut Kaplan dan Norton (1996) mendefinisikan balanced scorecard adalah: “The balanced scorecard complements financial measures of past performance with measures of the drivers of future performance. The objectives and measures of scorecard are derived from an organizational vision and strategy. The objectives and measures view organizational performance from four perspectives: financial perspective, customer perspective, internal business process perspective, and learning and growth perspective”.
Untuk dapat memenuhi kebutuhan organisasi publik yang berbeda dengan organisasi bisnis, maka sebelum digunakan ada beberapa perubahan yang dilakukan dalam konsep balanced scorecard. Perubahan yang terjadi antara lain: 1) perubahan framework dimana yang menjadi driver dalam balanced scorecard untuk organisasi publik adalah misi untuk melayani masyarakat, 2) perubahan posisi antara perspektif finansial dan perspektif pelanggan, 3) perspektif customers menjadi perspektif customers & stakeholders, dan 4) perubahan perspektif learning dan growth menjadi perspektif employess and organization capacity (Rohm, 2004). Gambaran balanced scorecard yang digunakan dalam organisasi publik seperti pada Gambar 1.
Yang menjadi fokus utama dalam organisasi publik adalah misi organisasi, secara umum misi suatu organisasi publik adalah melayani dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari misi tersebut diformulasikan strategi-strategi yang akan dilakukan untuk pencapaian misi tersebut. Strategi tersebut kemudian diterjemahkan kedalam 4 perspektif, yaitu: perspektif customers & stakeholders, perspektif financial, perspektif internal business process dan perspektif employees & organization capacity.
Perspektif customers & stakehoders mengambarkan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat. Perspektif financial mengidentifikasikan pemberian pelayanan yang efiesien. Perspektif internal business process menggambarkan proses-proses yang penting bagi organisasi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Perspektif employees & organization capacity mengambarkan kom- petensi dan kemampuan semua anggota organisasi.
B. Parameter Pengukuran Kinerja Sekolah
Merujuk kepada konsep organisasi, sekolah dapat disebut sebagai organisasi. Oleh karena itu pengertian kinerja organisasi dapat digunakan sebagai dasar untuk merumuskan pengertian kinerja sekolah. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja sekolah adalah: 1) Faktor Personal/Individu yang meliputi pengetahuan, keterampilan/ skill, kemampuan, kepercayaan diri, motivasi, dan komitmen yang dimiliki oleh setiap individu; 2) Faktor kepemimpinan yang meliputi: kualitas, dalam memberikan dorongan, semangat, arahan dan dukungan yang diberikan manajer dan team leader; 3) Faktor sistem yang meliputi: sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur yang diberikan organisasi, proses organisasi dan kultur kinerja organisasi; 4) Faktor konstektual/situasional yang meliputi tekanan dan perubahan lingkungan eksternal dan internal.
Sekolah adalah organisasi yang mempunyai tugas utama memberikan layanan pendidikan bermutu kepada masyarakat. Terkait dengan layanan pendidikan tersebut, pemerintah telah menetapkan Standar Pendidikan Nasional sebagai dasar rujukan untuk mengukur kinerja sekolah. Terdapat delapan Standar Pendidikan Nasional yang dapat dijadikan rujukan untuk mengukur kinerja sekolah, yaitu: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan.
Balanced scorecard mengembangkan seperangkat tujuan unit bisnis melampaui rangkuman ukuran finansial. Para eksekutif perusahaan dapat mengukur seberapa besar unit bisnis perusahaan menciptakan nilai bagi para pelanggan, dan seberapa banyak perusahaan harus meningkatkan kapabilitas internal dan investasi didalam sumber daya manusia. Balanced scorecard dengan jelas mengungkapkan berbagai faktor yang menjadi pendorong tercapainya kinerja finansial dan kompetitif jangka panjang yang superior.
Tujuan pengukuran dalam balanced scorecard bukan hanya penggabungan dari ukuran-ukuran keuangan dan nonkeuangan yang ada, melainkan merupakan hasil dari suatu proses atas-bawah (top-down) berdasarkan misi dan strategi dari suatu unit usaha. Balanced scorecard sangat cocok dengan jenis organisasi saat ini dimana fokus diletakkan pada strategi dan visi, bukan pengendalian. Keempat perspektif dalam balanced scorecard telah mencakup tolak ukur keuangan dan non keuangan, yang dalam penerapannya ditempatkan dalam kerangka yang terintegrasi dan seimbang guna mengevaluasi dan memperbaiki kinerja sekolah secara komprehensif (Indriati, 2011). Keempat perspektif tersebut dijelaskan dalam tabel 1.
Sebagai simulasi dilakukan pengukuran kinerja pada SMA Kewirausahaan dengan menggunakan balanced scorecard. Variabel yang dianalisis dalam pengukuran ini berdasarkan empat perspektif balanced scorecard, meliputi: variabel kinerja perspektif keuangan, variabel kinerja perspektif pelanggan, variabel kinerja perspektif proses bisnis internal, dan variabel perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Pengukuran kinerja keuangan dilakukan dengan metode value for money atas laporan keuangan dari SMA Kewirausahaan tahun 2019/2020. Konsep value for money menurut Mardiasmo (2009:4) merupakan konsep pengelolaan organisasi sektor publik yang mendasarkan pada tiga elemen utama, yaitu: ekonomi, efisiensi dan efektivitas.
Penilaian kinerja perspektif pelanggan bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelanggan dalam hal ini siswa melihat sekolah dalam melaksanakan proses pendidikan, apakah sudah sesuai dengan harapan pelanggan. Penulis menggunakan teori service quality untuk mengukur kepuasan pelanggan Menurut Zeitthaml et.al. (1990) dalam Herma (2011) teori tersebut mengemukakan kualitas layanan yang terdiri atas 5 (lima) komponen, yaitu: Tangibility, Reliability, Responsiveness, Assurance, dan Emphaty.
Proses bisnis internal memberikan penilaian atas gambaran proses yang telah dibangun dalam melayani para siswa. Variabel kinerja bisnis internal memiliki tiga indikator, yaitu: inovasi, proses dan layanan purna jual. Pada dasarnya perspektif bisnis internal adalah membangun keunggulan melalui perbaikan proses internal organisasi yang berkelanjutan (continous improvement).
Perspektif pembelajaran dan Pertumbuhan bertujuan untuk mengetahui bagaimana sekolah dapat terus melakukan perbaikan dan menambah nilai bagi pelanggan dan stakeholdernya. Kinerja pembelajaran dan pertumbuhan ini memiliki 3 (tiga) indikator, yaitu: modal manusia, modal informasi dan modal organisasi. Pengukuran kinerja modal manusia dilakukan dengan menganalisa tingkat kepuasan pegawai, modal informasi dengan menganalisa kemampuan sistem informasi dan modal organisasi dengan menganalisa iklim organisasi.
Teknik analisis data menggunakan deskriptif kuantitatif untuk melakukan pengukuran kinerja dengan pendekatan balanced scorecard melalui empat variabel. Analisis deskriptif kuantitatif adalah menggunakan skala likert pada interval 1-5 dapat mencerminkan kategori kinerja yang telah ditetapkan sebagaimana terlihat pada tabel 6.
Hasil-hasil analisis atas semua data yang diperoleh dapat dijabarkan sebagai berikut:
Penilaian perspektif keuangan dilakukan dengan menggunakan perhitungan analisis rasio ekonomis, efektivitas dan efisiensi (value for money) dengan membandingkan jumlah anggaran belanja dan pendapatan SMA Kewirausahaan. Rekapitulasi hasil nilai kinerja perspektif keuangan adalah sebagai berikut:
2. Perpektif Pelanggan
Pengukuran kinerja perspektif pelanggan dilakukan dengan mengukur tingkat kualitas layanan dan tingkat kepuasan pelanggan dengan menggunakan teori service quality dari zeithaml, et al (1990) dalam Herma (2011). Persepsi pelanggan (siswa) terhadap layanan yang diberikan SMA Kewirausahaan dapat diketahui dengan menggunakan lima dimensi mutu layanan, yaitu: tangibility, reliability, responsiveness, assurance, dan emphaty. Rekapitulasi hasil pembahasan terhadap lima dimensi dalam aspek pelanggan adalah sebagai berikut:
3. Proses Bisnis Internal
Perspektif ketiga dalam balanced scorecard adalah berdasarkan kinerja proses bisnis internal. Pengukuran kinerja proses bisnis internal dilakukan terhadap tiga aspek, yaitu: inovasi, operasi dan layanan purna jual/alumni dengaan cara menganalisa hasil evaluasi diri sekolah tahun ajaran 2019/2020. Kinerja perspektif proses bisnis internal secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel 9.
4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan bertujuan untuk mendorong organisasi dalam hal ini SMA Kewirausahaan untuk terus membangun keungguln sekolah. Pengukuran perspektif pembelajaran dan pertumbuhan menggunakan tiga indikator, yaitu modal manusia dilakukan dengan menganalisa tingkat kepuasan pegawai, modal informasi diukur dengan menganalisa kemampuan informasi, dan modal organisasi dengan menganalisa iklim organisasi. Rekapitulasi hasil pengukuran kinerja perspektif pembelajaran dan pertumbuhan secara keseluruhan adalah sebagai berikut:
Berdasarkan pengukuran, analisa dan pembahasan terhadap hasil penelitian pengukuran kinerja SMA Kewirausahaan dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard yang telah dilakukan, kinerja secara keseluruhan berdasarkan perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan dapat dilihat pada tabel berikut:
Hasil Pengukuran perspektif keuangan SMA Kewirausahaan menggunakan konsep value for money memperoleh skor 12 (80%) dan berada pada kategori baik. Hasil pengukuran kinerja perspektif pelanggan SMA Kewirausahaan diperoleh skor 9 (90%) dan berada pada kategori sangat baik. Hasil pengukuran kinerja perspektif proses bisnis internal diperoleh skor 47(94%). Skor ini menunjukkan kinerja proses bisnis internal termasuk kategori baik. Hasil Pengukuran Kinerja perspektif pembelajaran dan pertumbuhan diperoleh skor 12 (80%) dan berada pada kategori baik atau memuaskan. Kinerja SMA Kewirausahaan secara keseluruhan dari empat perspektif diperoleh total skor 80(88,9%) dari skor maksimal 90. Skor tersebut berada pada skala 76-90 dengan kategori sangat baik
C. Implikasi Hasil Pengukuran Kinerja Kewirausahaan Sekolah
Atas dasar identifikasi kata-kata kunci dalam visi, misi, dan tujuan dapat disimpulkan bahwa terdapat kesesuaian antara visi, misi, tujuan dan fungsi Kewirausahaan dengan visi, misi, tujuan sekolah yang menaunginya. Keberadaan Kewirausahaan sangat mendukung upaya sekolah dalam mewujudkan visi, misi, dan tujuan sekolah (Suryana, 2013)). Visi Kewirausahaan sebagai pusat layanan peningkatan kemampuan profesional tenaga kependidikan yang berdayaguna dan mandiri; dengan misi meningkatkan kemampuan profesional, meningkatkan kesejahteraan, dan menjadikan SMA sebagai standar keunggulan; dan dengan tujuan meningkatan SDM dan menggalang kerjasama dengan instansi terkait, memiliki kesesuaian sangat tinggi dengan visi SMA, yakni terwujudnya sekolah model sebagai pusat keunggulan dan rujukan dalam kualitas akademik dan non akademik serta akhlak karimah; dan dengan misi dan tujuan membangun budaya sekolah yang membelajarkan dan mendorong semangat keunggulan, menyelenggarakan pendidikan yang menghasilkan lulusan berkualitas akademik dan non akademik serta akhlaq mulia, mengembangkan SDM manajemen berbasis penjaminan mutu, mewujudkan sekolah yang memenuhi standard nasional pendidikan, dan berorientasi pada standard internasional.
Produk utama Kewirausahaan adalah peningkatan kinerja profesional tenaga kependidikan sebagai pusat layanan untuk menjadi pusat keunggulan. Hal ini tampak pada program kegiatan yang telah dilaksanakan Kewirausahaan, yakni: menyelenggarakan lokakarya persiapan dan penyusunan perangkat pembelajaran, lokakarya menyusun KTSP, lokakarya menyusun Renstra dan Program Kerja SMA, menyelenggarakan forum Guru Mata pelajaran Kewirausahaan yang ada, lokakarya menyusun buku ajar untuk siswa SMA, mengembangan fasilitas sarana dan prasarana Diklat dan penginapan serta fasilitas pendukung lainnya. Terkait jiwa kewirausahaan, terdapat beberapa kata kunci yang bersesuaian dengan semangat kewirausahaan, yakni: perluasan fungsi, keunggulan, kemandirian, peningkatan kesejahteraan. Perluasan fungsi berimplikasi pada operasional Kewirausahaan, yakni tidak hanya fungsi non-komersial, tetapi juga menjalankan fungsi komersial yang menghasilkan pendapatan dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Hal ini sesuai dengan harapan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar institusi sekolah lebih mandiri dalam mengelola organisasinya. Temuan di lapangan juga menunjukkan, bahwa disamping memiliki usaha komersial Kewirausahaan, SMA juga memiliki unit usaha lain yaitu koperasi.
Koperasi yang ada sekolah memiliki visi: terwujudnya usaha layanan dan pengembangan yang kreatif, inovatif, dinamis dan terpercaya dalam rangka mendukung visi SMA. Misi koperasi adalah mengawal kebijakan sekolah dalam usaha dan pengembangan kebutuhan yang diperlukan guru dan siswa, mengembangkan jaringan kerja sama dengan berbagai usaha/rekanan, mendorong terciptanya dunia kewirausahaan bagi siswa, menjadikan dunia usaha sebagai laboratorium belajar ekonomi/akuntansi, dan ikut berperan aktif mendukung program sekolah. Sedangkan tujuan koperasi adalah menyediakan sarana kebutuhan terkait: Pertokoan, kantin, buku/LKS, seragam/topi kaos, fotokopi, pariwisata, car rental, percetakan, periklanan. Dengan memperhatikan visi, misi, tujuan, program kegiatan Kewirausahaan maupun koperasi di atas, dapat dipahami bahwa SMA memiliki semangat untuk menjadikan kewirausahaan sebagai budaya sekolah. Keberadaan usaha ini akan mendukung semangat untuk meraih predikat sebagai sekolah model dan sebagai pusat keunggulan dan rujukan.
2. Posisi Strategis dan Kinerja Manajemen Kewirausahaan
Terkait kinerja Kewirausahaan berdasarkan analisis balanced scorecard, berikut adalah tabel tentang capaian indikator masing-masing perspektif analisis kinerja balance scorecard:
Dari perspektif keuangan, pencapaian manfaat lebih sebesar 14,21% menunjukkan kinerja keuangan yang tinggi. Kinerja keuangan Kewirausahaan ini berada di atas rata-rata kinerja keuangan untuk perusahaan yang berorientasi keuntungan dan berada di atas rata-rata suku bunga bank yang berlaku. Dari perspektif pelanggan, dilihat dari sasaran kompetensi diklat sesuai visi misi, sebagian besar diselenggarakan dalam rangka peningkatan kompetensi guru dan siswa (49,99%), disusul untuk kompetensi pengelolaan sekolah (16%); loyalitas pelanggan tinggi (63%); sebaran wilayah luas (lokal 49,56%, regional 33,18%, nasional 17,26%). Dari perspektif proses internal, terdapat struktur organisasi dan mekanisme kerja yang jelas, serta peningkatan kapasitas yang tinggi (naik 130%).
Dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, kapabilitas para pengelola dan guru bina cukup tinggi, kompetensi dan kepuasan karyawan cukup (Pendidikan SLTA ke bawah, 43%). Dengan memperhatikan capaian indikator masing-masing unsur analisis balanced scorecard, dapat disimpulkan bahwa kinerja manajemen berdasarkan perspektif keuangan, pelanggan dan proses internal tergolong baik. Sedangkan kinerja menurut perspektif pembelajaran dan pertumbuhan perlu ditingkatkan.
Dari perspektif keuangan, sebagai unit usaha dibawah institusi pemerintah, orientasi utama usaha Kewirausahaan bukanlah laba usaha, tetapi memberikan manfaat bagi peningkatan kinerja tenaga kependidikan. Oleh karena itu, sebagai usaha yang dikelola dengan manajemen bisnis, pencapaian manfaat lebih sebesar 14,21% menunjukkan kinerja keuangan yang tinggi. Kinerja keuangan Kewirausahaan ini berada di atas rata-rata kinerja keuangan untuk perusahaan yang berorientasi keuntungan dan berada di atas rata-rata suku bunga bank yang berlaku. Pengelola Kewirausahaan memperoleh tantangan untuk mengelola Kewirausahaan secara mandiri dengan mengimplementasikan semangat jiwa kewirausahaannya. Kinerja menurut perspektif ini sejalan dengan salah satu jiwa wirausaha, yakni pandai menghargai uang dan sesuai dengan prinsip bisnis harus menghasilkan keuntungan. Kinerja menurut perspektif keuangan ini sangat mendukung misi Kewirausahaan, yakni terlaksananya peran Kewirausahaan sebagai sumber alternatif pendanaan pendidikan di sekolah yang menaunginya dengan cara memberikan kontribusi secara reguler terhadap beberapa kegiatan yang disepakati dan dalam peningkatan kesejahteraan guru dan karyawan.
Dari perspektif pelanggan, menunjukkan bahwa: sasaran kompetensi diklat sebagian besar diselenggarakan dalam rangka peningkatan kompetensi guru dan siswa, disusul untuk kompetensi pengelolaan sekolah; loyalitas pelanggan cukup tinggi; sasaran instansi lingkungan pendidikan, cakupan sangat luas. Dari perspektif proses internal, fasilitas sebagai kekuatan internal, menunjukkan peningkatan jumlah sarana dan fasilitas. Hasil wawancara dan catatan lapangan menunjukkan bahwa terjadi perbaikan dan peningkatan fasilitas penginapan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Kinerja berdasarkan perspektif ini menunjukkan peningkatan kinerja yang baik. Kinerja menurut perspektif ini sesuai dengan fungsi Kewirausahaan sebagai (1) penunjang dalam upaya peningkatan mutu akademik dan kelembagaan Sekolah, (2) pelayanan dalam upaya peningkatan kemampuan dan kompetensi profesional guru dan tenaga kependidikan lainnya, (3) pelayanan dalam upaya peningkatan kepemimpinan dan kemampuan manajerial Kepala Sekolah, (4) penyelenggaraan berbagai kegiatan yang terkait dengan pengembangan kegiatan Kelompok Kerja Sekolah, (5) penyelenggaraan berbagai kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran, (6) pelayanan informasi bagi guru-guru dan tenaga kependidikan lainnya, dan (7) penyediaan sarana dan fasilitas yang dapat digunakan untuk kegiatan akademik dan kemasyarakatan.
Kinerja ini juga sesuai tujuan utama Kewirausahaan yakni untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas profesional guru dan pengelola Sekolah serta tenaga kependidikan lainnya yang mengarah pada implementasi sekolah aliyah negeri sebagai SMA Model. Dengan demikian, menurut perspektif ini Kewirausahaan memiliki kinerja yang baik, yang relevan dengan visi misi organisasi, yaitu pusat layanan peningkatan kemampuan profesional tenaga kependidikan yang berdayaguna dan mandiri, memberikan kemanfaatan masyarakat yang luas sesuai visi, misi, dan tujuan. Hal ini sebagaimana pandangan berbagai ahli (Umar, 1999; Rangkuti, 1999; Rahmawati, 2006), bahwa ukuran kinerja harus terkait dukungannya pada visi, misi, dan tujuan organisasi. Kondisi demikian juga sesuai pandangan Hitt dkk (2002) bahwa, visi, misi, dan tujuan organisasi harus menjadi orientasi utama dalam operasional suatu organisasi.
Proses internal harus mendukung peningkatan kinerja keuangan dan upaya meningkatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan. Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan menekankan pada bagaimana organisasi berinovasi dan terus tumbuh dan berkembang agar dapat bersaing pada masa datang (Rahmawati, 2006). Proses ini tumbuh dan berkembang dari faktor sumber daya manusia, sistem dan prosedur organisasi yang akan mendorong organisasi menjadi organisasi pembelajar (learning organization), yakni organisasi dimana orang-orangnya secara terus menerus memperluas kapasitas mereka untuk menciptakan tujuan organisasi. Tujuan dalam perspektif pertumbuhan dan pembelajaran adalah menyediakan infrastruktur yang memungkinkan tujuan ketiga perspektif lainnya dapat dicapai. Balanced scorecard menekankan pentingnya menanamkan investasi bagi masa datang, yaitu investasi terhadap sumber daya manusia yang merupakan pendorong dihasilkannya kinerja yang baik. Pelatihan dan perbaikan tingkat keahlian pegawai merupakan salah satu ukuran dalam perspektif ini. Adapun komitmen dalam memberikan pelayanan terbaik bagi pelanggan diharapkan tumbuh seiring terwujudnya kepuasan pegawai.
Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar (54%) sumberdaya manusia Kewirausahaan berpendidikan Sarjana dan Pascasarjana yaitu bagi guru bina dan pengurus. Sedangkan sisanya berpendidikan SLTA ke bawah untuk karyawan. Sehingga, dari perspektif ini, untuk pelaksanaan diklat memiliki perspektif pembelajaran dan pertumbuhan yang baik. Namun dari sumberdaya karyawan, dalam perspektif ini kinerja masih tergolong rendah. Menurut perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, Kewirausahaan harus berbenah diri, peningkatan kinerja karyawan harus ditingkatkan untuk mendukung perspektif pelanggan. Menurut Hitt dkk (2002), Umar (1999), Rangkuti (1999), dan Christiananta (2000), untuk mengimplementasikan strategi agresif dalam rangka mengambil peluang pasar, maka kekuatan internal harus didayagunakan secara optimal. Upaya yang dapat dilakukan Kewirausahaan untuk meningkatkan kinerja dalam perspektif ini antara lain adalah mengikut sertakan karyawan dalam pendidikan dan pelatihan terkait dengan manajemen perhotelan dan atau pengelolaan usaha jasa.
3. Strategi Implementasi Perilaku Kewirausahaan dalam Manajemen Kewirausahaan
Berikut ini hasil analisis isi tentang indikator-indikator nilai-nilai kewirausahaan yang diimplementasikan dalam pengelolaan Kewirausahaan, sebagaimana tampak pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2, diketahui bahwa nilainilai kewirausahaan yang terinternalisasi dalam budaya sekolah meliputi motivasi berprestasi (keunggulan, orientasi standar nasional dan internasional), kemandirian, kreativitas, pengambilan risiko, proaktif dan keuletan, orientasi masa depan, komunikatif dan reflektif, kepemimpinan, perilaku instrumental, penghargaan terhadap uang. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa nilainilai kewirausahaan terinternalisasi dalam budaya sekolah (sekolah) melalui 3 jalur yakni: bahasa tulis, bahasa lisan dan tindakan yang didukung oleh pola kepemimpinan yang visioner dan transformasional. Jalur bahasa tulisan tampak pada visi, misi, tujuan sekolah yang ditulis di atas banner dipasang di berbagai tempat.
Berbagai motto dan slogan ditulis dan dipasang di berbagai sudut ruang, kalender sekolah, spanduk pintu gerbang sekolah. Jalur lisan tampak pada berbagai kesempatan rapat guru dan staf, kepala sekolah mengingatkan para guru dan staf untuk memperhatikan visi, misi, tujuan dan nilai-nilai budaya sekolah. Para guru dan staf mengingatkan kepada siswa tentang nilai-nilai budaya sekolah. Jalur perilaku keteladanan tampak pada berbagai pengambilan keputusan penting, kepala sekolah melibatkan guru dan dewan sekolah, kepala sekolah memberikan keteladanan dalam implementasi nilai-nilai budaya sekolah, mendorong pengelolaan unit usaha sekolah untuk peningkatan kinerja dan kesejahteraan guru dan karyawan. Kewirausahaan sebagai unit usaha pendukung sekolah mengimplementasi nila-nilai kewirausahaan dan praktek pengelolaan usaha. Sehingga menghasilkan kinerja manajemen usaha Kewirausahaan sebagaimana yang telah diungkapkan pada analisis kinerja.
Proses internalisasi nilai budaya organisas ini sesuai dengan pandangan Nimran (2007), bahwa terbentuknya budaya organisasi, dapat secara prescriptive, yaitu melalui penurutan, peniruan, penganutan dan penaatan suatu skenario dari atas atau dari luar pelaku budaya yang bersangkutan; dapat secara terprogram melalui learning process, yaitu bermula dari dalam diri pelaku budaya, dari suatu kebenaran, keyakinan, anggapan dasar atau kepercayaan dasar yang dipegang teguh sebagai pendirian dan diaktualisasikan menjadi kenyataan melalui sikap dan perilaku. Pendiri, pemilik, dan pimpinan organisasi memiliki andil kuat terbentuknya budaya organisasi. Namun, pada zaman yang sudah berubah karyawan memiliki andil kuat dalam membentuk budaya organisasi. Dijelaskan bahwa, sejumlah organisasi memperlakukan karyawan tidak lagi sebagai objek tetapi sebagai subjek, kepentingan karyawan meningkat dari kepentingan singgah menjadi kepentingan tertanam. Dengan demikian, nilai yang disumbangkan oleh karyawan pada akhirnya tidak hanya nilai kerja, melainkan nilai organisasional tertinggi, berupa tanggungjawab dalam arti luas. Sesuai juga pandangan Susanto (2008), bahwa jejaring budaya merupakan sarana komunikasi utama dalam internalisasi nilai budaya Internalisasi budaya perusahaan dapat dilakukan dengan ceriteraceritera tentang perjuangan pendiri, ritual/upacaraupacara, simbol-simbol material yang merupakan alat identifikasi fisik.
Terkait implikasi terhadap pembelajaran siswa, temuan di lapangan menunjukkan bahwa implementasi nilai-nilai kewirausahaan pada budaya sekolah belum dibarengi dengan internalisasi pendidikan kewirausahaan dalam proses pembelajaran secara formal. Hasil wawancara dan catatan lapangan menunjukkan bahwa dilihat dari KTSP, selama ini materi tentang kewirausahaan belum dimasukkan sebagai kurikulum muatan lokal (Zutiasari, 2012). Dilihat dari bahan ajar, model pembelajaran, dan situasi belajar-mengajar, selama ini keberadaan Kewirausahaan belum dimanfaatkan langsung untuk proses pembelajaran bagi siswa. Siswa lebih banyak dilibatkan pada bagaimana mengelola usaha (materi mata pelajaran Ekonomi/Akuntansi) pada unit Usaha Koperasi Sekolah.
Implikasi pada proses pembelajaran, keberadaan Kewirausahaan baru sebatas peningkatan kompetensi guru dan tenaga kependidikan. Pembentukan budaya kewirausahaan salah satu pendekatannya adalah melalui proses pendidikan. Sektor pendidikan utamanya sekolah, merupakan jalur paling strategis dalam penanaman nilai-nilai kewira usahaan. Pendidikan adalah proses dimana suatu budaya secara formal ditransmisikan kepada si pembelajar, yang berfungsi sebagai transmisi pengetahuan, pengemongan manusia muda, mobilitas sosial, pembentukan jati diri dan kreasi pengetahuan. Internalisasi budaya kewirausahaan melalui jalur sekolah merupakan jalur formal, yakni dilaksanakan lewat pembelajaran yang terancang secara terarah berdasarkan kurikulum yang sasarannya adalah ranah kognitif, afektif dan psikomotor terkait konten tentang nilai-nilai kewirausahaan (Sudarmiatin, 2009).
Indikator internalisasi melalui jalur pendidikan formal akan tampak pada kurikulum (KTSP), RPP, dan pelaksanaan pembelajaran serta evaluasi pembelajaran. Internalisasi melalui jalur pendidikan formal nampak pada bahan ajar dan media, dan situasi belajar-mengajar. Temuan penelitian menunjukkan bahwa sekolah belum merespon secara sungguh-sungguh kebijakan kementerian agama, bahwa arah pendidikan agama dan keagamaan mengarah pada program kemandirian atau kewirausahaan. Lulusan sekolah, diharapkan mampu menolong dirinya sendiri dan membantu membuka lapangan kerja baru di masyarakat (Ali, 2009). Implementasi kewirausahaan yang positif akan sangat memberikan manfaat yang lebih berarti manakala diinternalisasi melalui jalur pendidikan formal. SMA yang menyelenggarakan pendidikan Kewirausahaan, dengan visi sebagai pusat keunggulan dan rujukan dalam kualitas akademik dan non akademik serta akhlak mulia, dan dengan misi membangun budaya sekolah yang membelajarkan dan mendorong semangat keunggulan, seharusnya berkomitmen memprakarsai pendidikan kewirausahaan menjadi bagian dalam KTSP, situasi belajar-mengajar dan pengembangan perangkat pembelajarkan memanfaatkan unit-unit usaha di lingkungan SMA.
Junus Simangunsong
Direktorat Sekolah Menengah Atas
junussim@gmail.com
Penulis |  :  | |
Editor |  :  | |
Dilihat |  :  | 3705 kali |
Rapat Koordinasi Evaluasi Kebijakan Pendidikan Dasar dan Menengah Upaya Tingkatkan Mutu Pendidikan Berbasis Kebijakan Zonasi dan Pengangkatan Guru
Evaluasi Kebijakan Pendidikan Wapres Minta Solusi untuk Masalah yang Berulang
Sinergi Kemendikdasmen dan Pemda Guna Tingkatkan Kualitas dan Pemerataan Pendidikan