Sejak tahun 2017 pemerintah melalui amanat dari nawa cita Presiden Republik Indonesia berupaya untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi di masyarakat. Untuk mengurangi kesenjangan tersebut, pemerintah mengambilkan kebijakan sistem zonasi yang menghadirkan pemerataan akses pada layanan pendidikan, serta pemerataan kualitas pendidikan nasional. Kebijakan sistem zonasi menjadi salah satu strategi pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang utuh dan terintegrasi. Sistem zonasi ini merupakan puncak dari rangkaian kebijakan di sektor pendidikan yang kita terapkan dua tahun terakhir ini. Tujuannya untuk mengurangi, kalau perlu menghilangkan ketimpangan kualitas pendidikan, terutama di sistem persekolahan.
Selama ini yang terjadi adanya ketimpangan antara sekolah yang dipersepsikan sebagai sekolah unggul atau favorit, dengan sekolah yang dipersepsikan tidak favorit. Terdapat sekolah yang diisi oleh peserta didik yang prestasi belajarnya tergolong baik/tinggi, dan umumnya berlatar belakang keluarga dengan status ekonomi dan sosial yang baik. Sementara, terdapat juga di titik ekstrim lainnya, sekolah yang memiliki peserta didik dengan tingkat prestasi belajar yang tergolong kurang baik/rendah, dan umumnya dari keluarga tidak mampu. Selain itu, terdapat pula fenomena peserta didik yang tidak bisa menikmati pendidikan di dekat rumahnya karena faktor capaian akademik. Hal tersebut dinilai tidak benar dan dirasa tidak tepat mengingat prinsip keadilan.
Sekolah negeri itu memproduksi layanan publik. Layanan publik itu harus memiliki tiga aspek, yang pertama non-rivalry, non-excludability, dan non-discrimination. Jadi, tidak boleh dikompetisikan secara berlebihan, tidak boleh dieksklusifkan untuk orang/kalangan tertentu, dan tidak boleh ada praktik diskriminasi. Sistem yang dikembangkan selama ini kurang memenuhi tiga persyaratan sebagai layanan publik itu.
Terkait tindak lanjut pascapenerapan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), Kemdikbud menyampaikan beberapa pokok kebijakan yang mengikutinya. Di antaranya adalah redistribusi guru, baik secara jumlah maupun kualitas. Selain itu, pemerintah akan segera menerapkan kebijakan terkait penataan sekolah. "Kalau ternyata suatu sekolah kelebihan daya tampung, karena siswanya lebih sedikit dari jumlah sekolah, nanti bisa regrouping. Sistem zonasi juga merupakan upaya mencegah penumpukan sumber daya manusia yang berkualitas dalam suatu wilayah tertentu. Dan mendorong pemerintah daerah serta peran serta masyarakat dalam pemerataan kualitas pendidikan sesuai amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Dikotomi sekolah favorit dan tidak favorit dipandang dapat memperuncing perbedaan dan memperbesar kesenjangan. Untuk itu, penerapan kebijakan zonasi memerlukan dukungan semua pihak demi tujuan besar jangka panjang. Sistem zonasi ini juga merupakan bagian dari upaya kita melakukan revolusi mental masyarakat, terutama persepsinya tentang pendidikan. Berdasarkan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 membuat empat kebijakan baru yang disebut empat program pokok kebijakan pendidikan “Merdeka Belajar”, salah satunya adalah kebijakan soal sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Kemdikbud tetap menggunakan sistem zonasi dengan kebijakan yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah. Komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima siswa minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, dan jalur perpindahan maksimal 5 persen.
Tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui titik terang dari pelaksanaan sistem zonasi yang baru berlaku di pendidikan Indonesia dengan melihat berbagai perbandingan negara lain yang telah lebih dahulu menerapkan. Kebijakan pendidikan salah satunya adalah kebijakan soal sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Beberapa penulis lain masih terdapat pro dan kontra dengan sistem zonasi mulai dari pelaksanaan, manfaat, bahkan hal lain yang berpengaruh dengan kualitas pendidikan di Indonesia yaitu sarana prasarana yang memadai, kebutuhan tenaga pengajar, dan lain. Supaya menemukan pendekatan masalah, penulis menggunakan acuan teori dari Viennet dan Pont.
Pengumpulan data dikumpulkan melalui diskusi kelompok terpumpun dengan dinas pendidikan seluruh Indonesia, isian instrumen, dan dari berbagai buku kebijakan pendidikan, jurnal berkaitan sistem zonasi, publikasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kemudian ditarik kesimpulan sebagai hasil jurnal yang dianalisis secara kualitatif. Negara maju telah menerapkan sistem zonasi bagi sekolah untuk mengatasi ruang kelas yang kondusif, tetapi terdapat permasalahan baru yang dihadapi negara maju saat ini dengan keadaan zonasi. Implikasi dari sistem zonasi negara maju dapat dijadikan bahan evaluasi pemerintah Indonesia agar tidak terjadi hal yang sama. Pemahaman para pelaku pendidikan terhadap implementasi kebijakan sistem zonasi ditemukan masih bervariatif dalam mengimplementasikan sistem zonasi agar berjalan dengan yang diharapkan. Tulisan ini membahas aspek-aspek yang mempengaruhi pemeratan kualitas pendidikan, sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa sistem zonasi perlu dievaluasi dan membenahi sarana prasarana dan pemeratan tenaga pendidik.
Pendahuluan
Memasuki era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi menuntut perubahan mendasar bagi berbagai bidang mulai dari bidang ekonomi, sosial, dan budaya serta kebijakan pada kualitas pendidikan. Landasan konstitusional menjadi komitmen pada dunia pendidikan sebagai pendorong dalam mewujudkan sistem pendidikan nasional menjadi lebih baik. Banyak fator-faktor yang terlibat dalam proses pendidikan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Terdapat unsur politik, ekonomi, kesehatan, psikologis, hukum, sosial, budaya, bahkan agama yang menjadi suatu kompleks dalam kegiatan pendidikan. Diperlukan suatu bentuk reformasi pada dunia pendidikan di Indonesia mengingat masih terdapat berbagai bentuk permasalahan yang dihadapi pendidikan nasional meliputi: ketidakseimbangan daya tampung, pemerataan pendidikan, masalah mutu pendidikan, dan relevansi pendidikan (Hasbullah, 2015).
Meskipun kewenangan pendidikan dasar dan pendidikan menengah telah dibagi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, diharapkan kerja sama antar pemerintah kabupaten, kota, dan pemerintah provinsi tidak terbatasi sekat-sekat birokrasi. Masing-masing pemerintah daerah sesuai kewenangannya diperkenankan melakukan penyesuaian kebijakan dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang ada untuk pelayanan publik yang baik. Sistem zonasi, diharapkan dapat menghadirkan populasi kelas heterogen, sehingga akan mendorong kreativitas pendidik dalam pembelajaran di kelas. Salah satu arah kebijakan zonasi ini adalah meningkatkan keragaman peserta didik di sekolah, sehingga nantinya akan menumbuhkan miniatur-miniatur kebinekaan di sekolah kita. Terwujudnya ekosistem pendidikan yang baik menjadi tujuan jangka panjang yang ingin dicapai melalui kebijakan zonasi. Peranan sekolah, masyarakat, dan keluarga, dipandang sama penting dan menentukan keberhasilan pendidikan anak. Inti ekosistem pendidikan adalah membangun lingkungan pendidikan yang baik, di mana ada hubungan positif antara sekolah, masyarakat dan keluarga sesuai dengan filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara.
Sebagaimana diketahui, berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS, 2018), tiga tahun terakhir Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mengalami peningkatan; angka IPM dari 68,9 di tahun 2014 menjadi 70,8 di tahun 2017. Adapun sumbangsih sektor pendidikan yang dapat dilihat adalah meningkatnya Rata-rata Lama Sekolah dari 7,73 tahun (2014) menjadi 8,10 tahun (2017), serta angka Harapan Lama Sekolah dari 12,39 tahun (2014) menjadi 12,85 tahun (2017). Sedangkan, Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah meningkat dari 74,26 menjadi 82,84 (2017), dan Angka Partisipasi Murni (APM) pendidikan menengah meningkat dari 59,35 menjadi 60,37 (2017). Data ini menunjukan bahwa perlu kebijakan pendidikan terkait pemeratan akses dan mutu pendidikan.
Selain pemerataan akses, masalah yang ingin diselesaikan oleh kebijakan ini ialah pemerataan kualitas pendidikan. Dari kebijakan yang dikeluarkan, Mendikbud ingin agar semua sekolah menjadi sekolah favorit (www.kemdikbud.go.id). Dengan kata lain kebijakan zonasi dipandang sebagai solusi untuk menyelesaikan dua masalah pokok pendidikan, yaitu pemerataan akses dan kualitas pendidikan. Pada hakikatnya pemerataan pendidikan memiliki dua dimensi yaitu keadilan dan inklusi (OECD, 2008:2). Keadilan berkaitan dengan keadaan pribadi dan sosial siswa yang seharusnya tidak mempengaruhi kesempatan dalam menjalani pendidikan. Sedangkan inklusi berkaitan dengan persamaan standar pendidikan untuk semua. Praktiknya pemerataan pendidikan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu penawaran dan permintaan (Cummings, 2008:66). Penawaran berada di tangan pemerintah sebagai otoritas publik yang menyediakan pendidikan. Hal ini seringkali dipengaruhi kebijakan yang dibuat pemerintah. Sementara permintaan datang dari masyarakat yang merupakan pengguna layanan pendidikan. Oleh karena itu, untuk mencapai pemerataan pendidikan diperlukan keseimbangan antara penawaran dan permintaan. Salah satu langkah yang yang diambil pemerintah saat ini adalah dengan menerapkan kebijakan sistem zonasi.
Keadaan yang terjadi dilapangan saat ini pelaksanaan PPDB dengan sistem zonasi banyak menuai problema seperti penerapan sistem zonasi PPDB menimbulkan pro dan kontra dimana masalah radius tempat tinggal dan sekolah masih menjadi perdebatan serta penyalahgunaan Surat Keterangan Tidak Mampu palsu dalam Wahyuni (2018). Disisi lain menurut Arifani dan Budi (2018) bahwa sistem zonasi ini merupakan program yang efefktif dalam pemerataan kualitas pendidikan serta berimplikasi positif terhadap dampak lingkungan seperti kemacetan lalu lintas, polusi udara, fisik dan kesehatan anak serta ketergantungan transportasi bermotor menjadi ke arah yang lebih sehat. Melihat dari sisi yang berbeda dalam upaya menurunkan tingkat Rawan Melanjutkan Pendidikan (RMP) berdasarkan hasil penelitian pada Kota Bandung yang dilakukan oleh Purwanti dkk (2018) bahwa sistem zonasi dapat meningkatkan angka partisipasi kasar dari siswa RMP, tetapi tidak efektif dalam mengurangi angka tidak melanjutkan sekolah bagi anak-anak RMP.
Rumusan Masalah
Pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia belum pernah tuntas, hal ini akan berdampak pada implementasi kebijakan zonasi. Ada beberapa fenomena yang selalu dikaitkan dengan masalah pemeraataan kualitas pendidikan ini. Permasalahan tersebut di antaranya: (1) kurangnya fasilitas pendidikan yang tersedia; masih banyak warga negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat ditampung dalam sistem atau lembaga pendidikan; (2) sarana dan prasarana antara di desa dan kota jauh berbeda; di desa-desa sarana dan prasarananya masih seadanya, sedangkan di kota-kota besar, sarana dan prasarananya sudah sangat maju; (3) kurangnya tenaga pengajar; di daerah bagian timur Indonesia bukan saja sarana dan prasarana yang kurang, melainkan juga kurangnya tenaga pengajar sehingga banyak sekolah masih membutuhkan guru-guru dari daerah lain; (4) masih banyak warga negara yang kurang mampu; walaupun tinggal di kotakota besar, warga Negara yang tidak mampu tidak dapat merasakan pendidikan sehingga masih di bawah umur sudah bekerja untuk membantu orang tuanya.
Hal itulah yang menjadi alasan mendasar sehingga permasalahan tersebut masih timpang antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya Peneliti merasa perlu mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan sistem zonasi dalam perspektif pendidikan di Indonesia. Selain itu perubahan masukan input siswa dari kebijakan zonasi ini tentu merubah cara dan proses manajemen peseta didik yang dilakukan oleh kepala sekolah. Terutama terkait menjaga dan meningkatkan kualitas sekolahnya.
Pendekatan Kajian
Kajian ini menggunakakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode fenomenologi. Metode penelitian fenomenologi dipilih karena dengan metode ini memungkinkan peneliti untuk menggali dan mendeskripsikan pemaknaan umum sejumlah individu tentang pengalaman terkait suatu fenomena atau konsep (Creswell, 2015:105). Dalam menemukan keterkaitan masalah pelaksanaan sistem zonasi, penulis mengacu pada teori Viennet dan Pont. Hal ini sesuai dengan pertanyaan bagaimana pemahaman dan tanggapan pelaku pendidikan terhadap implementasi sistem zonasi dalam perspektif otonomi pendidikan di indonesia?
Pengumpulan data dilakukan melalui diskusi kelompok terpumpun dengan dinas pendidikan melalui video conference pada rapat koordinasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan seluruh provinsi. Diskusi ini diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah, Kemdikbud, pada tanggal 31 April sampai dengan 1 Mei 2020. Dalam diskusi kelompok interaktif, provinsi dibagi menjadi 3 kelompok dengan topik implementasi kebijakan PPDB. Pengumpulan data dilakukan dengan menuangkan hasil diskusi ke dalam notula dan pengisian instrumen yang telah disediakan. Selama penelitian selain melakukan pengumpulan data peneliti juga melakukan pengujian keabsahan data penelitian melalui triangulasi dan pemeriksaan anggota. Triangulasi pada dasarnya ialah teknik pengecekan data dari sumber yang diteliti (Sugiyono, 2012:327).
Selanjutnya analisis data penelitian dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah yang dikemukakan oleh Creswell (2015: 254-265) meliputi: mengorganisasikan data, membaca dan membuat memo, mendeskripsikan data, mengklasifikasikan data, menafirkan data, dan menyajikan data. Peneliti melakukan penafsiran data dengan membahas data dengan literatur dan hasil riset yang dilakukan oleh ilmuan terdahulu. Terakhir peneliti melakukan penyajian data, dengan mengelompokkan terhadap data-data yang temanya sesuai dan terkait satu sama lain.
Impelementasi Kebijakan Sistem Zonasi
Berdasarkan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 membuat empat kebijakan baru yang disebut empat program pokok kebijakan pendidikan “Merdeka Belajar”, salah satunya adalah kebijakan soal sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Kemdikbud tetap menggunakan sistem zonasi dengan kebijakan yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah. Komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima siswa minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, dan jalur perpindahan maksimal 5 persen. Untuk jalur prestasi atau sisa 0-30 persen lainnya disesuaikan dengan kondisi daerah. Daerah berwenang menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi. Pemerataan akses dan kualitas pendidikan perlu diiringi dengan inisiatif lainnya oleh pemerintah daerah, seperti redistribusi guru ke sekolah yang kekurangan guru. Kebijakan Merdeka Belajar ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Dengan demikian dapat dikatakan fokus utama dari kebijakan zonasi ialah pemerataan akses layanan pendidikan.
Implementasi kebijakan sangat ditentukan dari beberapa faktor disekitarnya, sebagaimana dijelaskan oleh (Viennet dan Pont, 2017) mulai dari smart policy design, inclusive stakeholder engagement, conductive institutional and societal context, dan coherent implementation strategy. Kerangka kerja yang dijelaskan oleh Viennet dan Pont dalam kebijakan pendidikan sangat menekankan pada proses strategi yang koheren dengan faktor penentu lainnya. Strategi implementasi juga dipengaruhi dari sebagaimana desain kebijakannya, gejolak sosial, dan keterlibatan pemangku kepentingan.
Praktiknya seringkali keterlibatan orang tua atau wali murid dalam pembentukan suatu kebijakan lokal dianggap sebagai suatu masalah, karena sering terjadi kesalahan kebijakan yang buruk akibat dari gambaran dan ide dari orang tua atau walimurid yang tidak inovatif disebabkan oleh nilai-nilai dan praktik orang tua yang menyimpang (Atikson, 2000). Meskipun keterlibatan dari pemangku kepentingan tidak selalu menghasilkan ide yang sempurna, sangat diperlukan bagi setiap pembuat kebijakan untuk menentukan desain kebijakan dari para stakeholder sebagai konstruksi sosial yang mendukung arah politik dalam konteks dimana untuk memadukan antara kekuasaan yang paradigmatic dengan kapasitas mereka untuk mencapai tujuan bersama (Stone, 1989). Pembuat kebijakan sistem zonasi di Inggris atau Education Action Zones (EAZ) mendapati hasil evaluasi bahwa peran orang tua atau wali murid sering diabaikan dan juga dibatasi. Sebaliknya, kepentingan profesional pendidikan dan sebagian kecil orang tua yang telah terlibat aktif dalam sosial dan politik mendominasi keseluruhan kebijakan EAZ. (Simpson dan Cleslik, 2002) menyatakan bahwa perlu dalam pelaksanaan EAZ suara dan ide dari para wali murid sebagai pondasi kebijakan karena mereka merupakan orang yang merasakan dampak langsung dari suatu kebijakan. Simpson melihat bahwa pengabaian aspirasi walimurid karena dianggap sebagai penghambat dalam teks kebijakan dan retorika para Menteri di Ingrris. Hasil riset tersebut dapat menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah Indonesia dan pejabat dalam pembentukan suatu kebijakan di daerah.
Skema pelaksanaan sistem zonasi di Indonesia saat ini sama dengan keadaan di Selandia Baru sebagai salah satu upaya pembentukan pemerataan kualitas disekolah dan memberikan kenyamanan ruang kelas bagi peserta didik. Sistem zonasi pada penerimaan peserta didik baru diterapkan pertama kali pada Permendikbud Nomor 44 tahun 2019 diharapkan mampu menghilangkan citra sekolah favorit agar terjadinya pemerataan pendidikan, peningkatan kapasitas guru, menghilangkan praktik jual beli kursi atau pungli, dan mencipatkan suasana kelas yang heterogen. Berdasarkan hasil evaluasi dari jurnal Waikato Region (2014) pada kasus di Negara Selandia Baru bahwa sistem zonasi dapat berdampak kepada perkembangan bisnis properti karena faktor sekolah berkualitas terbaik menjadi tujuan dari semua orang tua. Indonesia belum mengarah kepada permasalahan yang dihadapi pemerintah Selandia Baru saat ini, jika pelaksanaan sistem zonasi di Indonesia bertujuan untuk melakukan pemerataan pendidikan maka perlu adanya perbaikan pada sarana dan prasana sekolah disetiap wilayah. Pendistribusian tenaga pengajar juga menjadi faktor penting yang diperlukan pemerintah Indonesia saat ini jika ingin melakukan pemerataan kualitas pendidikan, dimana saat ini berdasarkan hasil perhitungan rasio kebutuhan guru dan siswa sangat jauh kebutuhan akan tenaga pengajar serta guru yang bersertifikasi untuk mendidikan sesuai kompetensi guru.
Tolok ukur keberhasilan kebijakan pendidikan adalah pada implementasinya. Grindle (Rusdiana, 2015:132) menyebutkan bahwa “implementasi kebijakan sesungguhnya tidak hanya terbatas pada mekanisme penjabaran keputusan politik ke dalam prosedur rutin melalui saluran birokrasi, tetapi berkaitan dengan masalah konflik, yaitu siapa memperoleh apa dalam suatu kebijakan, bahkan pelaksanaan kebijakan merupakan sesuatu yang sangat penting, kemungkinan jauh lebih penting daripada perumusan kebijakan”. Menurut Ali Imron (2012:64) “implementasi kebijakan adalah aktualisasi kebijakan pendidikan secara konkrit di lapangan.
Implementasi kebijakan harus dilakukan, karena masalah-masalah yang dirumuskan dalam perumusan kebijakan menuntut pemecahan masalah melalui tindakan. Akan diketahui secara jelas melalui implementasi, apakah suatu rumusan alternatif pemecahan masalah benar - benar sesuai dengan masalahnya atau tidak. Melalui implementasi juga, apakah setelah diterapkannya alternative pemecahan masalah akan menimbulkan masalah baru atau tidak. Sistem zonasi merupakan suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam bidang pendidikan sebagai alternatif dalam pemerataan kualitas pendidikan.
Salah satu indikator pemahaman provinsi terhadap Permendikbud terletak pada kesesuaian kuota jalur PPDB antara Peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah dengan Permendikbud. Pemahaman provinsi terhadap kebijakan zonasi tunjukkan pada Gambar (1) dan (2) dibawah ini. Hasil ini menunjukkan bahwa provinsi sudah menindaklanjuti melalui pembuatan peraturan daerah sebagai tindak lanjut dari kebijakan zonasi dan melakukan sosialisasi PPDB kepada pihak sekolah.
Dalam menentukan jalur sangat bergantung pada daya tampung sekolah yang terdapat dalam satu zonas. Dari hasil diskusi kelompok terpumpun semua provinsi pada tanggal 1 Mei 2020 dapat dirangkum dalam menentukan kriteria zonas adalah sebagai berikut. Pertama, penentuan zona berdasarkan wilayah blindspot atau di wilayah yang padat sekolah dan penduduk. Kedua, dalam penetapan zonasi memperhitungkan jumlah lulusan SMP/Mts dan kapasitas daya tampung jenjang SMA dengan jumlah rombel 36 siswa. Dan ketiga, berdasarkan hasil verifikasi terhadap kuota rombel dan kelas dilakukan untuk memaksimalkan peran sekolah swasta. Untuk meminimalisir praktek titipan melalui pelibatan ombudsman, penggunaan aplikasi PPDB online yang diharapkan dapat transparan, hingga memutuskan komunikasi pribadi dari dinas pada masa PPDB.
Berdasarkan Permendikbud 44 Tahun 2019 Pasal 21 bahwa pendaftaran PPDB dilaksanakan dengan menggunakan mekanisme dalam jaringan (daring) dengan mengunggah dokumen yang dibutuhkan sesuai dengan persyaratan ke laman pendaftaran PPDB yang telah ditentukan. Pelaksanaan mekanisme dalam jaringan (daring) menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Sistem Pendaftaran PPDB dalam hal tidak tersedia fasilitas jaringan, maka PPDB dilaksanakan melalui mekanisme luar jaringan (luring) dengan melampirkan fotokopi dokumen yang dibutuhkan sesuai dengan persyaratan. Mekanisme penerimaan peserta didik tahun 2020 masih beragam sebagaimana ditunjukkan Gambar 3 di bawah ini. Berdasarkan gambar tersebut sebagian besar menggunakan kombinasi daring dan durng.
Pemberlakuan sistem zonasi oleh pemerintah yang dilakukan sejatinya bertujuan untuk memeratakan akses maupun kualitas pendidikan. Kemdikbud tetap menggunakan sistem zonasi dengan kebijakan yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah. Komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima siswa minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, dan jalur perpindahan maksimal 5 persen. Untuk jalur prestasi atau sisa 0-30 persen lainnya disesuaikan dengan kondisi daerah. Perspektif para pelaku pendidikan melalui diskusi kelompok terpumpun dalam hal ini tentang zonasi sebagai berikut.
Secara garis besar penentuan jalur prestasi melalui 2 (dua) cara, yaitu:
Hasil dan Dampak Kebijakan Zonasi
Pemberlakuan sistem zonasi oleh pemerintah yang dilakukan sejatinya bertujuan untuk memeratakan akses maupun kualitas pendidikan. Perspektif para pelaku pendidikan tentang zonasi meliputi: (1) kemudahan akses layanan pendidikan, (2) pemerataaan kualitas sekolah, (3) penurunan kualitas sekolah, (4) dampak pada tingkat SMA, (5) pembatasan siswa memilih sekolah, (6) pemerataan sarana dan prasarana pendidikan, dan (7) pengurangan kebhinekaan di dalam kelas.
1. Zonasi Memudahkan Akses Layanan Pendidikan
Salah satu tujuan dibentuknya kebijakan zonasi ialah untuk memeratakan akses layanan pendidikan. Dalam perspektif pelaku pendidikan, mengungkapkan “dari sudut pandang perspektif pendidikan, kebijakan zonasi bagus karena untuk memudahkan akses masyarakat dalam bersekolah. Masyarakat bisa bersekolah di sekolah yang ada di lingkunganya. Pendapat tersebut menegaskan bahwa dengan menerapkan sistem zonasi memberikan kemudahan akses pendidikan bagi masyarakat.
Sistem zonasi tidak hanya memberikan kemudahan akses layanan pendidikan, tetapi juga menguntungkan siswa karena bisa menghemat waktu dan biaya untuk bersekolah. Hal ini karena siswa bisa bersekolah di dekat tempat tinggalnya. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian dari Mandic, et.al. (2017:1) yang menjelaskan bahwa skema zonasi sekolah mampu memberikan kenyamanan bagi siswa untuk bersekolah di sekolah yang dekat dengan rumahnya. Disamping itu, Saporito (2017) menyatakan sebenarnya asumsi penerapan zonasi ini ditujukan untuk meminimalkan biaya transportasi. Dari dukungan dua ilmuan itu maka dapat dikatakan bahwa zonasi selain memberikan kemudahan akses layanan pendidikan kepada siswa di sekitar sekolah, juga meminimalkan biaya transportasi bagi siswa.
2. Zonasi Memeratakan Kualitas Sekolah
Perspektif lain selain memudahkan akses layanan pendidikan, zonasi juga dipandang mampu memeratakan kualitas sekolah. Hal ini tidak lepas dari variasi input siswa yang diterima oleh sekolah. Siswa yang diterima lebih variatif karena sekolah hanya menerima siswa yang berasal dari zona sekolah. Sehingga mau tidak mau, bagaimanapun keadaan siswa, asalkan ia berasal dari zona sekolah maka ia dapat diterima. Hal tersebut menyiratkan bahwa yang dimaksud pemerataan kualitas sekolah melalui 2 hal: pertama setiap sekolah memiliki kesempatan untuk memeroleh input siswa yang unggul. Kedua, dengan variasi siswa yang dihasilkan maka dapat menghilangkan label sekolah favorit yang selama ini menjadi pengkastaan dalam dunia pendidikan.
Terdapat dua perspektif pemerataan kualitas sekolah dalam zonasi meliputi: pertama, setiap sekolah memiliki kesempatan untuk memeroleh input siswa yang unggul. Kedua, dengan variasi siswa yang dihasilkan maka dapat menghilangkan label sekolah favorit yang selama ini menjadi pengkastaan dalam dunia pendidikan. Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Safarah & Wibowo (2018:206) dalam tulisanya menyebutkan “program zonasi sekolah menjadi salah satu program yang efektif dari pemerintah dalam mewujudkan pemerataan pendidikan di Indonesia”. Dengan demikian dapat dikatakan zonasi menjadi alat yang efektif untuk pemerataan kualitas pendidikan terutama terkait dengan pemerataan input siswa.
3. Zonasi Menurunkan Kualitas Sekolah
Berbeda dengan perspektif sebelumnya, yang memandang zonasi bisa memeratakan kualitas pendidikan, perspektif ketiga sebaliknya, memandang zonasi menurunkan kualitas sekolah. Penurunan kualitas sekolah tersebut terjadi karena sekolah tidak lagi bersaing menjadi sekolah favorit. Ditetapkanya sistem zonasi membuat sekolah menjadi sama. Jika semua sekolah sama maka dikhawatirkan tidak memotivasi sekolah untuk menjadi unggulan atau favorit. Hal ini terjadi karena sistem zonasi lebih memprioritaskan wilayah tempat tinggal dibandingkan prestasi siswa.
Sistem zonasi lebih memprioritaskan wilayah tempat tinggal dibandingkan prestasi siswa, sehingga sekolah favorit tidak bisa menyeleksi siswa yang berprestasi. Padahal terkait mutu sebuah sekolah Perdu & Sheetz (2008:70-72) menguraikan empat langkah untuk membentuk mutu. Empat langkah tersebut kemudian peneliti adopsi dalam konteks membentuk mutu sebuah sekolah, meliputi: pertama, manajemen sekolah harus memahami harapan dari stakeholder terutama dalam hal manajemen humas dan pelayanan. Kedua, manajemen di tingkat sekolah harus mampu mendesain produk dan layanan yang sesuai dengan keinginan stakeholder. Ketiga, memberikan layanan dan memfasilitasi dengan baik. Keempat, menjalin komunikasi dengan stakholder sekolah. Dengan memperhatikan langkah langkah tersebut, seharusnya sekolah tidak perlu khawatir dengan input siswa yang bervariatif.
Disisi lain penelitian Ferry (2018) menunjukkan bahwa dalam meningkatkan mutu lulusah hal yang bisa dilakukan oleh sekolah meliputi: pertama, perencanaan program yang diarahkan pada SKL dan didasari evaluasi diri sekolah dan survei kepuasan masyarakat. Kedua pelaksanaan program dengan dukungan aspek sarana dan prasarana, serta pelibatan orang tua dalam pelaksanaan program. Ketiga melakukan monitoring dan evaluasi terhadap program peningkatan mutu. Dengan demikian dapat dikatakan apapun inputnya asalkan proses yang dilaluinya baik maka akan menghasilkan output yang baik pula. Terlebih menurut Raharjo & Yuliana (2016:203) “kepemimpinan kepala sekolah merupakan indikator yang paling utama dalam mewujudkan sekolah unggul yang menyenangkan” dengan demikan fakor input siswa sejatinya tidak terlalu berpengaruh dalam menyelenggarakan pendidikan yang unggul dan favorit.
4. Zonasi di Tingkat SMA perlu Pembenahan
Perspektif keempat menyebutkan bahwa sistem zonasi tidak cocok diterapkan di tingkat SMA. Hasil lapangan menunjukkan bahwa kebijakan zonasi baik diterapkan unuk level sekolah dasar atau sekolah menengah pertama. Kalau untuk level sekolah menengah atas banyak hambatan dan tantangan. Hambatannya terutama karena jumlah sekolah tidak merata di daerah-daerah, misalnya daerah kepulauan belum tentu ada SMA daerah tersebut. Sebaliknya daerah perkotan ditemukan sekolah-sekolah numuk di suatu tempat. Tantangan yang dihadapi dimana ada oknum orang tua memanfaatkan surat keterangan domisi dan surat tidak mampu tidak sesua dengan kenyataan. Tantangan yang lain yaitu. guru-guru PNS tidak merata di seluruh daerah. Dengan demikian dapat dikatakan pelaksanaan zonasi di Indonesia baru dilaksanakan di tingkat SMA karena kebijakan ini merupakan kebijakan baru dan dilaksanakan secara bertahap.
5. Sistem Zonasi Membatasi Siswa Memilih Sekolah
Inti dari sistem zonasi ialah sekolah hanya boleh menerima siswa yang bertempat tinggal di lingkungan sekolah. Bukan hanya sekolah yang dibatasi, tetapi siswa juga dibatasi untuk mendaftar dan memilih sekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya. Menurut data lapangan, siswa tidak lagi bebas memilih sekolah sesuai keinginan, tetapi harus yang dekat dengan sekolahnya. Sistem zonasi dirasa kurang cocok, itu membuat anak bangsa menjadi terkotak-kotak, meskipun tujuanya dengan sistem ini orang tua menjadi irit untuk transport, tapi mereka menjadi terampas untuk bisa memilih sehingga bisa disimpulkan bahwa zonasi membatasi siswa untuk memilih sekolah dan hal ini bertentangan dengan asas demokrasi yang berlaku di IndonesiaPenerpan sistem zonasi dianggap membatasi siswa untuk memilih sekolah dan bertentangan dengan asas demokrasi yang berlaku di Indonesia. Sejalan dengan itu, Bunar (2010:68) menyebutkan, sistem zonasi telah mengunci kesempatan bagi siswa untuk memilih sekolah di tempat yang berbeda dengan tempat tinggalnya. Hal ini mungkin terjadi mengingat zonasi ingin memeratakan pendidikan siswa di sekitar sekolah.
6. Kebijakan Zonasi Harus Disertai Pemerataan Sarana dan Prasarana Pendidikan
Pemerataan akses layanan pendidikan yang menjadi tujuan sistem zonasi hendaknya juga disertai pemerataan sarana prasarana pendidikan. Hal tersebut senada dengan kondisi di lapangan bahwa niat pemerintah untuk percepatan pemerataan dirasa cukup bagus karena berkaitan dengan infrastruktur di sekolah disamakan dulu sehingga apabila menginginkan adanya pemerataan sarana prasarana pendidikan untuk mendukung pemerataan kualitas pendidikan bisa melalui sistem zonasi akan tetapi juga disertai upaya pemerataan sarana prasana.
Zonasi dipandang bisa efektif apabila disertai pemerataan sarana prasarana pendidikan untuk mendukung pemerataan kualitas pendidikan. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian Nepal (2019) menunjukkan bahwa kualitas udara yang bersih dan baik, cahaya yang baik, lingkungan nyaman, aman, usia dan kondisi bangunan, kualitas pemeliharaan dapat memengaruhi kesehatan, keselamatan serta kondisi psikologis siswa. Lebih lanjut ia menguraikan Pembuat kebijakan harus memperhatikan hubungan antara fasilitas Infrastruktur sekolah dan pembelajaran dan prestasi siswa. Disisi lain penelitian yang dilakukan Liu (2017) menyebutkan baik jumlah dana maupun jumlah guru memang menyebabkan banyak ketidaksetaraan di sekolah yang berbeda. Artinya, keberadaan sarana prasarana sekolah memiliki kontribusi terhadap pemerataan kualitas sekolah. Dari dua penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pemerataan sarana fasilitas pendidikan dapat meningkatkan mutu pendidikan.
7. Zonasi Mengurangi Kebhinekaan
Pemberlakuan sistem zonasi, di satu sisi ingin mempermudah akses layanan pendidikan bagi masyarakat sekitar sekolah, di sisi lain membuat masyarakat menjadi terkelompok dalam lingkunganya masing-masih. Hal inilah yang membuat zonasi dipandang mengurangi nilai-nilai kebhinekaan. Hal lain yang sejalan yaitu bahwasannya kebijakan zonasi mengurangi kebhinekaan karena komposisi siswa di sekolah hanya siswa-siswi yang berasal dari lingkungan sekolah saja yang mana sistem ini dirasa bertolak belakang dengan tema multikultural atau kebhinekaan yang diangkat oleh pemerintah. Padahal tema tersebut muncul dan diaplikasikan dalam pendidikan.
Beberapa pelaku pendidikan menganggap sistem zonasi bertolak belakang dengan tema multikultural atau kebhinekaan yang diangkat oleh pemerintah. Padahal tema tersebut muncul dan diaplikasikan dalam pendidikan. Menurut hemat peneliti, sebenarnya berbeda antara multikultural yang diangkat dalam pendidikan dengan multikulturalisme yang hilang dari sistem zonasi. Kaitanya dengan pendidikan multikultural, masih tetap bisa dijalankan meskipun siswa yang berpartisipasi merupakan siswa se zona. Terlebih Indrapangastuti (2014: 13) mengungkapkan: “peran guru dalam pelaksanaan pendidikan multikultural meliputi: membangun paradigma keberagaman inklusif di lingkungan sekolah, menghargai keberagaman bahasa di sekolah, membangun sikap sensitif gender di sekolah, membangun pemahaman kritis dan empati terhadap ketidakadilan serta perbedaan sosial, membangun sikap anti diskriminasi etnis, menghargai perbedaan kemampuan dan menghargai perbedaan umur”.
Dari pernyataan di atas, maka pendidikan multikultural juga bisa diterapkan bersamaan dengan kebijakan zonasi. Terlebih sisem zonasi menghasilkan input siswa yang beragam, sehingga peran guru dalam pendidikan multikultural di atas dapat dilaksanakan. Mendukung pernyataaan sebelumnya Rohman & Ningsih (2018) mengungkapkan: “Dengan penanaman pendidikan multikultural yang benar akan menghasilkan generasi muda di era revolusi industri 4.0 yang kreatif, inovatif, serta generasi yang berkarakter, berintegritas dan menjunjung tinggi toleransi sesuai identitas nasional bangsa Indonesia”. Sehingga keberagaman siswa yang dihasilkan dari sistem zonasi dapat mendukung pembelajaran multikultural dan tidak mengurangi bahkan merusak kebhinekaan.
Simpulan
Menghadirkan sekolah yang kualitasnya sama disetiap daerah menjadi salah satu program pemerintah saat ini. Pendistribusian guru dirasakan sangat penting sebagai pendukung sistem zonasi, karena jika melihat negara maju yang telah menetapkan sistem zonasi bagi peserta didik berimplikasi pada kesenjangan tempat tinggal. Pemerataan kualitas sekolah masih tidak dapat teratasi diberbagai negara maju, sehingga hanya orang tua yang memiliki uang dapat tinggal dekat dengan zona sekolah yang unggul. Penting bagi pemerintah Indonesia untuk mengevaluasi sistem zonasi yang terdahulu diterapkan pada negara maju dengan memberikan kemerataan sarana dan prasarana serta guru yang bersertifikasi agar mampu menciptakan pemerataan pendidikan di Indonesia.
Pemberlakuan sistem zonasi oleh pemerintah yang dilakukan sejatinya bertujuan untuk memeratakan akses maupun kualitas pendidikan. Sistem zonasi dengan kebijakan yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah. Hasil kajian menunjukkan bahwa pemahaman dan tindak lanjut kebijakan sistem zonasi masih variatif. Implementasi kebijakan zonasi sangat dipengaruhi letak geografis, ketersedian infrastruktur, dan kebutuhan tenaga pendidik. Penentuan kriteria daya tampung yaitu: berdasarkan wilayah blindspot atau di wilayah yang padat sekolah dan penduduk, jumlah lulusan SMP/Mts, dan hasil verifikasi terhadap kuota rombel. Komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima siswa minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, dan jalur perpindahan maksimal 5 persen. Untuk jalur prestasi atau sisa 0-30 persen lainnya disesuaikan dengan kondisi daerah yang dituangkan dalam peraturan daerah masing-masing.
Dampak kebijakan zonasi dalam perspektif kualitas pendidikan adalah: (1) zonasi memudahkan akses layanan pendidikan, (2) zonasi memeratakan kualitas sekolah, (3) zonasi menurunkan kualitas sekolah, (4) zonasi pada tingkat SMA perlu pembenahan, (5) sistem zonasi membatasi siswa memilih sekolah, (6) kebijakan zonasi harus disertai pemerataan sarana dan prasarana pendidikan, dan (7) zonasi mengurangi kebhinekaan. Perspektif-perspektif tersebut masing-masing muncul berdasarkan pemahaman, perasaan dan pengalaman yang telah dialami dengan kebijakan sistem zonasi.
Junus Simangunsong
Direktorat Sekolah Menengah Atas, Kemdikbud
junus_smng@yahoo.com
Penulis |  :  | |
Editor |  :  | |
Dilihat |  :  | 8249 kali |
Rapat Koordinasi Evaluasi Kebijakan Pendidikan Dasar dan Menengah Upaya Tingkatkan Mutu Pendidikan Berbasis Kebijakan Zonasi dan Pengangkatan Guru
Evaluasi Kebijakan Pendidikan Wapres Minta Solusi untuk Masalah yang Berulang
Sinergi Kemendikdasmen dan Pemda Guna Tingkatkan Kualitas dan Pemerataan Pendidikan