A. Konsep Kolaborasi dan Kemitraan
Istilah kolaborasi biasanya digunakan untuk menjelaskan praktik dua pihak atau lebih untuk mencapai tujuan bersama dan melibatkan proses kerja masing-masing maupun kerja bersama dalam mencapai tujuan bersama tersebut (Emily, 2011). Motivasi utamanya biasanya adalah memperoleh hasil-hasil kolektif yang tidak mungkin dicapai jika masing-masing pihak bekerja sendiri-sendiri. Selain seperti dalam kerjasama, para pihak berkolaborasi biasanya dengan harapan mendapatkan hasil-hasil yang inovatif, terobosan, dan/atau istimewa/luar biasa, serta prestasi kolektif yang memuaskan. Kolaborasi biasanya dilakukan agar memungkinkan muncul/berkembangnya saling pengertian dan realisasi visi bersama dalam lingkungan dan sistem yang kompleks (Anderson, 2004).
Dengan demikian, kolaborasi sebenarnya dapat berupa hubungan umum antara dua pihak atau lebih, yang dapat bersifat kemitraan, bentuk kerjasama tertentu ataupun kolaborasi yang lebih khusus/spesifik di bidang iptek. Walaupun begitu, dalam beberapa literatur, istilah kemitraan sering dipertukarkan dengan kerjasama dan/atau kolaborasi, atau bahkan sebatas koordinasi. Konteks kemitraan iptek itu sendiri, terutama dari perspektif kebijakan, yang menjelaskan maksud hubungan antara para pihak dalam suatu praktik kemitraan iptek (Robert Angus Buchanan, 2006).
Untuk SMA di daerah tertentu, kebutuhan dan kesempatan pasar adalah kemampuan mengidentifikasi kebutuhan pembeli di wilayah tersebut sedangkan kreatifitas dan inovasi dapat berupa mengembangkan produk yang sudah ada menjadi sesuatu yang baru dalam kualitas atau pun pengemasan atau produk yang belum ada di daerah tersebut atau diambil dari daerah lain. Proses pengembangan wirausaha berbasis pada penguatan potensi lingkungan sekitar ini perlu melakukan proses kolaborasi (kerja sama) antar stakeholder ekosistem kewirausahaan yang dapat dilihat pada skema di bawah.
Sumber: https://psma.kemdikbud.go.id
Gambar 1 : Model kolaborasi ekosistem kewirausahaan
Keterangan gambar 1
A = Akademisi (kampus, sekolah lain, organisasi)
B = Bisnis (lembaga bisnis, organisasi profesi)
C = Community/Komunitas
G = Goverment/Pemerintah
M = Media (media digital/offline)
Dalam model kerja sama Gambar 1 kewirausahaan proses kerja sama dimulai dari membangun hubungan antara peserta didik dengan elemen ekosistem ABCGM. Dari hubungan yang terbangun langkah selanjutnya adalah perintisan kerja sama antara peserta didik dengan elemen elemen ekosistem ABCGM . Kemudian sebagai tahap akhir peserta didik melakukan upaya upaya untuk mendorong jual beli hasil kolaborasi peserta didik dengan elemen ABCGM.
Menurut Pertamina Foundation (2015), dalam membangun jaringan kemitraan diperlukan adaya prinsip-prinsip yang harus disepakati bersama agar terjalin kuat dan berkelanjutan. Prinsip-prinsip tersebut di antaranya adalah:
1. Kesamaan Visi-Misi
Kemitraan hendaknya dibangun atas dasar kesamaan visi dan misi, serta tujuan organisasi. Kesamaan visi dan misi menjadi motivasi dan perekat pola kemitraan tersebut.
2. Kepercayaan (trust)
Setelah adanya kesamaan visi dan misi maka prinsip berikutnya yang tidak kalah penting adalah adanya rasa saling percaya antar pihak yang bermitra. Kepercayaan adalah modal dasar dalam membangun kemitraan yang sinergis dan mutualis. Untuk dapat dipercaya, maka komunikasi yang dibangun harus dilandasi oleh itikad (niat) yang baik dan menjunjung tinggi kejujuran.
3. Saling Menguntungkan
Asas saling menguntungkan merupakan pondasi yang kuat dalam membangun kemitraan. Jika dalam bermitra ada salah satu pihak yang merasa dirugikan ataupun merasa tidak mendapat manfaat lebih, maka akan mengganggu keharmonisan dalam bekerja sama. Antara pihak yang bermitra harus saling memberi kontribusi sesuai peran masing-masing dan harus saling merasa diuntungkan dengan adanya jalinan kemitraan.
4. Efisiensi dan Efektifitas
Dengan mensinergikan beberapa sumber untuk mencapai tujuan yang sama diharapkan mampu meningkatkan efisiensi waktu, biaya dan tenaga. Efisiensi tersebut tentu saja tidak mengurangi kualitas proses dan hasil, justru sebaliknya malah dapat meningkatkan kualitas proses dan produk yang dicapai. Tingkat efektifitas pencapaian tujuan menjadi lebih tinggi jika proses kerja kita melibatkan mitra kerja. Dengan kemitraan dapat dicapai kesepakatan-kesepakatan dari pihak yang bermitra tentang siapa melakukan apa sehingga pencapaian tujuan diharapkan akan menjadi lebih efektif.
5. Komunikasi
Dialogis Komunikasi timbal balik dilaksanakan secara dialogis atas dasar saling menghargai. Komunikasi dialogis merupakan pondasi dalam membangun kerjasama. Tanpa komunikasi dialogis akan terjadi dominasi pihak yang satu terhadap pihak yang lainnya yang pada akhirnya dapat merusak hubungan yang sudah dibangun.
6. Komitmen yang
Kuat Kemitraan akan terbangun dengan kuat dan permanen jika ada komitmen satu sama lain terhadap kesepakatan yang dibuat bersama.
Kemitraan akan berjalan bila pihak-pihak yang bermitra sama-sama memperoleh manfaat. Konsep kita tentang kemitraan memang seperti itu, walaupun pada jangka pendek, ada pihak atau salah satu pihak memperoleh manfaat lebih banyak dari pihak lain. Tetapi itu adalah satu proses untuk mewujudkan kemitraan yang ideal. Berdasarkan hal tersebut, maka peran pemerintah dalam gerakan kemitraan masih sangat diperlukan, setidaknya pada tahap-tahap awal yang sifatnya memotivasi dan mendorong pelaksanaan kemitraan. Peran pemerintah yang paling utama adalah menciptakan iklim usaha yang sehat bagi kemitraan usaha. Selanjutnya pemerintah dapat berperan dalam memberikan pedoman tentang kemitraan melalui peraturan perundangan. Pemerintah juga berperan penting dalam memberikan informasi dan peluang kemitraan serta rencana teknis kepada usaha kecil dalam perencanaan kemitraan dan negosiasi bisnis.
Pemerintah dapat mendukung kemitraan dengan memantapkan prasarana, sarana dan memperkuat kelembagaan, antara lain mengembangkan sistem dan lembaga keuangan. Berdasarkan penjelasan demikian, istimewanya dengan kemitraan alami adalah pemerintah berperan menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga mempercepat terwujudnya kemitraan. Dalam mewujudkan kemitraan, kita perlu mempertemukan antara konsep dan implementasi kemitraan di lapangan. Adapun langkah-langkahnya ialah :
3. Ketiga, perlu dipikirkan sasaran gerakan kemitraan. Sasaran kemitraan adalah dunia usaha secara keseluruhan. Memang pola kemitraan yang dikembangkan dapat berbeda menurut sektornya masing-masing. Misalnya sektor pertanian, pola Inti Plasma lebih cocok. Di sektor industri manufaktur, pola sub-kontrak lebih pas. Di sektor perdagangan dan jasa kita memiliki pola kemitraan waralaba dan keagenan. Dan tidak menutup kemungkinan tumbuhnya pola-pola kemitraan di luar pola-pola yang telah ada.
Menurut jangka waktunya, sasaran kemitraan dapat kita klasifikasikan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek, setiap pengusaha skala menengah dan skala besar yang telah membuat komitmen kemitraan dan memperoleh calon-calon mitra diharapkan melaksanakan kemitraan dalam waktu secepatnya. Jangka panjang, secara sendiri atau bersama-sama pengusaha besar pemrakarsa kemitraan mempersiapkan rencana kemitraan. Dari rencana tersebut diharapkan terjadi keterkaitan vertikal, horizontal dan geografikal dari bisnis kemitraan antara sekolah dengan pelaku usaha skala menengah dan skala besar.
Dengan demikian, kemitraan usaha pada hakekatnya adalah pemaduan berbagai kompetensi yang dimiliki oleh pengusaha besar, menengah, dan sekolah. Dalam kemitraan tersebut, pengusaha besar dan menengah diharapkan berperan sebagai pemrakarsa sedangkan sekolah sebagai mitra usaha. Pengusaha besar dan menengah dapat memperbaiki inefesiensi usaha yang timbul karena spesialisasi, sedangkan sekolah diharapkan dapat memetik keuntungan karena percepatan pengembangan usaha melalui jangkauan yang lebih luas terhadap peluang-peluang bisnis dan kompetensi pengusaha besar. Itulah sebabnya kemitraan yang sedang digalakkan harus berpedoman pada prinsip saling memerlukan, memperkuat dan menguntungkan. Namun demikian, untuk mewujudkan cita-cita dan implementasi kemitraan tersebut bukan berarti tanpa kendala dan rintangan. Hambatan tersebut bisa saja berasal dari belum kondusifnya iklim berusaha, kesadaran yang masih rendah oleh kedua belah pihak (usaha besar maupun usaha kecil) atau juga karena terdapatnya kelemahan usaha kecil di bidang SDM, modal, teknologi, informasi maupun organisasi dan manajemen.
B. Peran Stakeholder dalam Kewirausahaan SMA
SMA yang melakukan pengembangan program kewirausahaan merupakan program peningkatan mutu pendidikan berbasis wilayah (provinsi dan kabupaten/kota) yang diintegrasikan dengan program pembinaan lainnya dari Direktorat Pembinaan SMA, Dinas Pendidikan Provinsi, dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP). Oleh karena itu diperlukan kerjasama dan komitmen bersama antara stakeholders untuk melaksanakan pengembangan program kewirausahaan secara terintegrasi. Keterkaitan dan keterlibatan institusi terkait dalam pembinaan SMA pengembangan program kewirausahaan dapat digambarkan seperti Gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2. Keterkaitan dan Keterlibatan Institusi Terkait
Uraian setiap stakeholder pada Gambar 2 adalah sebagai berikut.
Direktorat SMA sebagai advokasi, pendampingan dan supervisi SMA pengembangan program Kewirausahaan secara nasional mempunyai peran dan tugas:
2. Dinas Pendidikan Provinsi
Peran Dinas Pendidikan Provinsi sebagai pembina SMA di wilayahnya antara lain:
3. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP)
Memberikan pembinaan sesuai dengan tugas dan fungsi LPMP antara lain:
4. Pelaku Usaha dan Industri Setempat
Memberikan pembinaan sesuai dengan tugas dan fungsi antara lain:
4. Pelibatan Publik
Peran publik dan berbagai lembaga pemangku kepentingan pendidikan seperti Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan, Balitbang Kemendikbud, Perguruan Tinggi, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), lembaga yang terkait dengan kewirausahaan, masyarakat, dan lain-lain merupakan dukungan eksternal bagi SMA yang melakukan pengembangan program kewirausahaan untuk membantu penyelenggaraan program kewirausahaan dan keunggulan sekolah. Melibatkan ekosistem kewirausahaan /ABCGM dalam pengembangan kewirausahaan dalam bentuk kemitraan, konsultasi, narasumber, bantuan material pembelajaran, dan sejenisnya.
5. SMA pelaksana pengembangan program kewirausahaan
SMA sebagai pelaksana pengembangan program kewirausahaan mempunyai tugas yang berkaitan dengan tahap penataan, pemantapan, dan kemandirian antara lain sebagai berikut:
C. Peran Direktorat Sekolah Menengah
Program kewirausahaan di SMA adalah sebuah upaya nyata dalam rangka penanaman nilai-nilai kewirausahaan dan peningkatan kualitas pembelajaran mata pelajaran Prakarya dan Kewirausahaan di SMA dengan tujuan agar peserta didik memiliki karakter wirausaha kreatif, memahami konsep kewirausahaan, mampu melihat peluang, mendapatkan pengalaman langsung berwirausaha serta terbentuknya lingkungan sekolah sebagai lingkungan belajar yang berwawasan kewirausahaan.
Kewirausahan di SMA bukan program yang terimplementasi sesaat saja, tetapi merupakan kegiatan yang berkelanjutan untuk dapat menghasilkan pribadi berpola pikir kewirausahaan. Untuk itu diperlukan pengelolaan dan pembinaan dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi serta pengembangan program tersebut oleh seluruh komponen sesuai tugas, fungsi dan peran masing-masing. Keberhasilan program kewirausahaan dibangun oleh kinerja semua komponen sekolah yang sinergi antara komponen satu dengan komponen lainnya.
Kewirausahaan di SMA merupakan program untuk meningkatkan kreatifitas, menjadi pribadi problem solver, mengenal konsep kewirausahaan, latihan mengembangkan usaha, mendapatkan pengalaman praktis berwirausaha, menumbuhkan minat berwirausaha dan mengembangkan potensi berwirausaha. Oleh karena itu program kewirausahaan di SMA harus menjadi alternatif dalam mempersiapkan lulusan yang mampu menerapkan dan mengelola peluang usaha serta mampu menyesuaikan diri agar berhasil dalam kehidupan bermasyarakat serta memiliki kemampuan untuk menghadapi persaingan global.
Program pembinaan Kewirausahaan SMA merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan sekolah. Oleh karena itu diharapkan setiap unsur dapat berperan serta seoptimal mungkin melalui berbagai upaya, seperti dukungan kebijakan, anggaran, dan komitmen peningkatan mutu mata pelajaran Prakarya dan Kewirausahaan. Hal lain yang menjadi pembeda dengan SMA lainnya adalah tumbuh dan berkembangnya praktik-praktik baik, kreativitas, dan inovasi dibidang kewirausahaan yang menjadi unggulan dan kebanggaan sekolah. Di samping itu SMA penerima dana bantuan program Kewirausahaan juga sebagai pionir pelaksanaan kebijakan pendidikan vokasi di SMA.
Kebijakan dan program kewirausahaan di SMA yang dilakukan Direktorat SMA diharapkan dapat ditindaklanjuti oleh Dinas Pendidikan Provinsi secara intensif dengan harapan dapat dijadikan benchmark bagi sekolah lain dalam pengembangan mata pelajaran Prakarya dan Kewirausahaan. Keberhasilan pelaksanaan SMA program Kewirausahaan sangat ditentukan oleh keaktifan sekolah dengan berkolaborasi dalam melaksanakan dan mengembangkan inovasi-inovasi baru di bidang kewirausahaan untuk meningkatkan mutu lulusan yang pandai memanfaatkan peluang dan berani menanggung risiko serta menumbuhkan wirausahawan muda yang kreatif dan mandiri.
Junus Simangunsong
Direktorat Sekolah Menengah Atas
junussim@gmail.com
Penulis |  :  | |
Editor |  :  | |
Dilihat |  :  | 1761 kali |
Rapat Koordinasi Evaluasi Kebijakan Pendidikan Dasar dan Menengah Upaya Tingkatkan Mutu Pendidikan Berbasis Kebijakan Zonasi dan Pengangkatan Guru
Evaluasi Kebijakan Pendidikan Wapres Minta Solusi untuk Masalah yang Berulang
Sinergi Kemendikdasmen dan Pemda Guna Tingkatkan Kualitas dan Pemerataan Pendidikan